Dakwah Tauhid

Bahasa Arab Online

Muslimah.or.id

21 Desember 2009

Menyentuh Istri Membatalkan Wudhu??

Oleh : Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Pertanyaan :

Bagaimana hukum bersentuhan dengan isteri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?

Maulana Bandar Lampung

Jawab:

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini sehingga terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat Al-Majmu’ 2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat Al-Umm 1/30 oleh Imam Syafi’i dan Al-Majmu’ 2/35 oleh Imam Nawawi).


Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil Pertama:

Asal wudhu seorang adalah suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya, sedangkan hal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi n akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/235).
Dalil Kedua:

Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadits ini secara luas dalam At-Tamhid 8/504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1/135-138 Syaikh Ahmad Syakir).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh Al-Allamah As-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1/104.
Dalil Ketiga:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud maka beliau menyentuhku lalu sayapun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadits dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar Asy-Syaukani 1/187, Subulus Salam As-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142).
Dalil Keempat:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah n dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).

Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4/152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadits. (Lihat At-Tamhid 8/501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146).
Dalil Kelima:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah n melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.

(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/35).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadits ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent)”.


Pendapat Ketiga:

Memerinci:
Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan
Tidak batal apabila tidak dengan syahwat.

Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan

“Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.

(Lihat Al-Mughni 1/260 Ibnu Qudamah).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya

Atau minimal adalah pendapat ketiga.

Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ berdasarkan argumen sebagai berikut:
Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (Al-Qamus Al-Mukhith Al-Fairuz Abadi 2/259).
Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadits-hadits shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 8/506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadits Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadits Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadits. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadits, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.

Sumber : www.abiubaidah.com

Diupload kembali oleh :

www.wahonot.wordpress.com


Read More...

Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Berbuat Baik

Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal? Temukan jawabannya pada pembahasan berikut.

Sebab Turun dan Makna Ayat

Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Di sini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya.[1]

Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan makna ayat tersebut, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[2]

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang

Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[3] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Di antara larangan loyal (wala’) pada orang kafir dapat kita lihat pada firman Allah (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51). Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[4]

Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)

Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[5]

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik dengan orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ”[6]

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim

Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam. Seperti ‘Umar pernah memberi hadiah pakaian kepada saudaranya[7] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[8]

Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.

Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[9]

Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).”[10]

Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.

Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata, ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata, “(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.” Abdullah bin ’Amru lalu berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”[11]

Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[12]

Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat[13]. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan selama tidak sampai mencintai agama yang orang tuanya anut.

Kedua: Menetap di negeri kafir[14]. Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:
Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.

Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut: (1) memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya, (2) merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya, dan (3) mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam.

Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[15] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[16] Oleh karena itu, perilaku tasyabbuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.

Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)

Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka karena Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman (yang artinya), “Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur …” (QS. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik.[17] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib[18]. Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat dalam hari perayaan yang mereka rayakan. Bahkan hal ini diharamkan berdasarkan ijma’ atau kesepatan para ulama.

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal

Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah:

”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[19]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[20]

Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[21] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana kami telah utarakan. Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa ucapan selamat natal termasuk bentuk berbuat baik dan dibolehkan, padahal acara natal sudah ada sejak masa silam?!

Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut, cetakan ketiga, tahun 1404 H.
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.
[3] Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy Syamilah.
[4] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.
[5] Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.
[6] Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.
[7] Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan ‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul Bari, 5/233.
[8] HR. Bukhari no. 2619.
[9] HR. Bukhari no. 2620.
[10] HR. Muslim no. 2556.
[11] Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]
[12] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah, cetakan pertama, 1425 H.
[13] Lihat Surat Al Mujadilah: 22.
[14] Lihat Surat An Nisa’: 97-98
[15] Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim.
[16] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.
[18] Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.
[19] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[20] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.
[21] Semacam Yusuf Qardhawi, begitu pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa.


Sumber: Buletin At-Tauhid

Read More...

20 Desember 2009

Keutamaan Puasa di Hari Asyura (10 Muharram)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]

Hadits yang Pertama

عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits yang Kedua

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)

Hadits yang Ketiga

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.

Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.

Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]

Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:

1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.

2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]

3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]

Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)

CATATAN KAKI:

[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)

Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:

“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .

“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”

Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.

لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-

“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))

[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)

[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.

Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.

Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)

[4] (lihat no. 3)

[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.

Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)

Wallaahu a’lam.


ulamasunnah.wordpress.com


Read More...

MANTAN PENDETA ROMA MENJADI AHLUS SUNNAH

Oleh : Syaikh Amjad bin Imron Salhub

Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dan menjadikan ajarannya sebagai petunjuk sampai hari kiamat.

Sejarah Islam, baik yang dulu maupun sekarang senantiasa menceritakan kepada kita, contoh-contoh indah dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk, mereka memiliki semangat yang begitu tinggi dalam mencari agama yang benar. Untuk itulah, mereka mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan milik mereka yang berharga, sehingga mereka dijadikan permisalan, dan sebagai bukti bagi Allah atas makhluk-Nya.


Sesungguhnya siapa saja yang bersegera mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah Ta’aala, pasti Dia ‘Azza Wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut, dan akan dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar di alam nyata ini, yaitu kenikmatan Islam. Semoga Allah merahmati syaikh kami al-Albani yang sering mengulang-ngulangi perkataan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِسْلاَمِ وَالسُنَّةِ

Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan as-Sunnah

Diantara kalimat mutiara ulama salaf adalah:

إِنَّ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى اْلأَعْجَمِيِّ وَ الشَابِ إِذَا نَسَكَ أَنْ يُوَافِيَ صَاحِبَ سُنَّةٍ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا

Sesungguhnya diantara nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia beribadah bertemu dengan pengibar sunnah, kemudian dia membimbingnya kepada sunnah Rasulullah.


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya

Inilah kalimat tauhid, kalimat yang baik, kunci surga. Kalimat inilah stasiun pertama dari jalan panjang yang penuh dengan onak dan duri, kalimat taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi seorang insan yang ingin menggerakkan lisannya untuk mengucapkannya, demikian juga ketika dia ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam. Karena, ketika seorang insan ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam, maka dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan seizin Allah Ta’aala.

Demikianlah yang dialami oleh Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta menutup lembaran hidupnya diatas Islam-.

Inilah dia yang akan menceritakan kepada kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nashrani) menuju Islam, dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya serta kemewahan hidupnya, di suatu jalan (hakekat terbesar), demi mencari kebebasan akal dan jiwa.

Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas jalan keistiqomahan- menceritakan:

Saya adalah seorang lelaki dari keluarga Roma, seorang anak dari keluarga kaya, semasa kecil, saya hidup dengan kemewahan dan kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa kecilku. Ketika masa remajapun, saya banyak menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama teman-temanku, ketika itu saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang, sehingga saya bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah kekurangan.

Akan tetapi sejak kecil, saya senantiasa merasa bahwa dalam kehidupan ini ada yang kurang, dan saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di dalam hidupku, serta suatu kekosongan yang harus kupenuhi, karena semua sarana kehidupan ini bukanlah tujuanku. Saya mulai tertarik dengan agama, dan mulailah kubaca Injil, pergi ke gereja, serta kusibukkan diriku dengan membaca buku-buku agama Kristen. Dari buku-buku yang kubaca tersebut, mulai kudapatkan sebagian jawaban atas berbagai pertanyaanku, akan tetapi tetap saja belum sempurna.

Dahulu saya bangun pagi setiap hari dan pergi ke pantai, saya merenungi laut sambil membaca buku-buku dan shalat. Setelah dua bulan dari permulaan hidupku ini, saya merasa mantap bahwa saya tidak mampu terus menerus menjalani hidupku seperti biasanya setelah beragama, ketika itu, saya mendatangi ayahku dan kukabarkan kepadanya bahwa saya tidak bisa melanjutkan bekerja dengannya, saya juga pergi mendatangi ibu dan saudari-saudariku dan kukabarkan kepada mereka bahwa saya telah mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka.

Kemudian kusiapkan tasku lalu naik kereta tanpa kuketahui ke mana saya hendak pergi, hingga saya tiba di kota Polon, kemudian saya masuk ke ad-dir (Istilah untuk gereja yang terpencil dipedalaman. – pent.) disana, lalu naik gunung yang tinggi. Saya menetap di gunung selama kira-kira sebulan, saya tidak berbicara dengan siapapun, saya hanya membaca dan beribadah.

Sekitar tiga tahun, saya senantiasa berpindah-pindah dari satu ad-dir ke ad-dir yang lain, saya membaca dan beribadah, kebalikannya para pendeta yang tidak bisa meninggalkan ad-dir mereka, karena saya tidak pernah memberikan janji untuk menjadi seorang pendeta di suatu ad-dir tertentu, dan janji tersebut akan menghalangiku untuk keluar masuk darinya.

Setelah itu, saya memutuskan untuk berkeliling ke pelbagai negeri, maka saya memulai perjalanan panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria, Nimsa, Romania, Bulgaria, Turki, Iran, Pakistan, dari sana menuju India. Semua perjalanan ini saya tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan saya sudah pernah mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku sebelumnya, akan tetapi kali ini sangat berkesan, sehingga saya mencintainya.

Dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai menjelaskan kepadaku tentang Islam versi Syi’ah, keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak menjelaskan kepadaku tentang Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka menfokuskan pada ajaran Syi’ah dan Imam Ali z, serta tentang penantian mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang akan datang untuk membebaskan manusia.

Semua diskusi tesebut sama sekali tidak menarik perhatianku, dan saya belum mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaanku dalam rangka mencari hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu menawarkan kepadaku untuk mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama tiga bulan tanpa dipungut biaya, akan tetapi saya memilih untuk melanjutkan perjalananku dan kutinggalkan mereka.

Kemudian saya menuju India, dan ketika saya turun dari kereta, pertama yang kulihat adalah manusia yang membawa kendi-kendi di pagi hari sekali dengan berlari-lari kecil menuju ke dalam kota, maka kuikuti mereka dan saya melihat mereka berthowaf mengelilingi sapi betina yang terbuat dari emas, ketika itu saya sadar bahwa India bukanlah tempat yang kucari.

Setelah itu, saya kembali ke Italia dan dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya derita ketika di India, akan tetapi Allah telah menyelamatkanku. Alhamdulillah.

Saya keluar dari rumah sakit menuju rumah, dan mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah yang akan saya ambil setelah perjalanan panjang ini, maka saya memutuskan untuk terus dalam jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali ke ad-dir dan mulailah kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah ad-dir di Roma. Pada waktu itu saya telah diminta oleh para pembesar pendeta disana untuk memberikan kalimat dan janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan keesokan harinya saya memutuskan untuk tidak memberikan janji kepada mereka lalu kutinggalkan ad-dir tersebut.

Saya merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari ad-dir, setelah itu saya menuju al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya. Maka mulailah saya berpergian menuju al-Quds melalui jalur darat melewati berbagai negeri, sampai akhirnya saya tiba di Siria, Lebanon, Oman, dan al-Quds, saya tinggal disana seminggu, kemudian saya kembali ke Italia, maka bertambahlah pertanyaan-pertanyaanku, saya kembali ke rumah lalu kubuka Injil.

Pada kesempatan ini, saya merasa berkewajiban untuk membaca Injil dari permulaannya, maka saya memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para nabi bani Israel. Pada tahap ini mulai nampak jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan hakiki yang Allah mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga muncullah berbagai pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya, saya berusaha menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut dari perpustakaanku yang penuh dengan buku-buku tentang Injil dan Taurat.

Pada saat itu, saya teringat suara adzan yang pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai negeri serta pengetahuanku bahwa kaum muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dan inilah yang dulu saya yakini, maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan Islam, kemudian mulailah kukumpulkan buku-buku tentang Islam, diantara yang saya miliki adalah terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika berkeliling ke berbagai negeri.

Setelah kutelaah buku-buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang dipahami oleh mayoritas orang-orang barat, yaitu sebagai agama pembunuh, perampok dan teroris akan tetapi yang saya dapati adalah Islam itu agama kasih sayang dan petunjuk, serta sangat dekat dengan makna hakiki dari Taurat dan Injil.

Kemudian saya putuskan untuk kembali ke al-Quds, karena saya yakin bahwa al-Quds adalah tempat turunnya kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya menaiki pesawat terbang dari Italia menuju al-Quds. Saya turun di tempat turunnya para pendeta dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di dalam tasku, saya tidak membawa sesuatu kecuali sedikit pakaian, terjemahan al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kemudian saya mulai membaca lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi, saya membandingkan kandungan al-Qur’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga saya berkesimpulan bahwa kandungan al-Qur’an sangat dekat dengan ajaran Musa dan Isa ‘alaihimassalaam yang asli.

Selanjutnya saya mulai berdialog dengan kaum muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang Islam, sampai akhirnya saya bertemu dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga banyak bertemu dengan teman-teman, mereka menjelaskan kepada saya tentang Islam. Setelah itu, saudara Wasiim mengatakan kepadaku bahwa dia akan mengadakan suatu pertemuan antara saya dengan salah seorang dari teman-temannya para da’i.

Pertemuan itu berlangsung dengan saudara yang mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilah perbincangan yang bagus tentang agama Islam. Diantara perkara yang paling mempengaruhiku adalah kisah sabahat yang mulia, Salman al-Farisi z, karena di dalamnya ada kemiripan dengan ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.

Kami berkumpul lagi dalam pertemuan yang lain dengan saudara Amjad beserta teman-temannya, diantaranya fadhilatusy Syaikh Hisyam al-‘Arif –hafidhohulloh-, maka berlangsunglah dialog tentang Islam dan keagungannya, kebetulan ketika itu saya memiliki beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh.

Setelah itu, saya terus menerus berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan sabar menjelaskan jawaban atas mayoritas pertanyaan-pertanyaanku. Pada saat seperti itu di depan saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti kebenaran atau menolaknya, dan saya sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut setelah saya meyakini bahwa Islam adalah jalan yang benar.

Pada saat itu juga, saya merasakan bahwa waktu untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat telah tiba. Ternyata tiba-tiba saudara Amjad mendatangiku bertepatan dengan waktu dikumandangkannya adzan untuk shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah tiba, sehingga tiada pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan :

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya

Maka serta merta saudara Amjad memelukku dengan pelukan yang ramah, seraya memberikan ucapan selamat atas keIslamanku, kemudian kami sujud syukur sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah atas anugerah nikmat ini. Kemudian saya diminta mandi ([1] Sebagaimana hadits Qoish bin ‘Ashim, Ketika beliau masuk Islam, Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur bidara. (HR. An-Nasai, at-Turmudzi dan Abu Daud. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa’ (128).)) dan berangkat ke al-Masjid al-Aqsho untuk menunaikan shalat dhuhur,

Di tempat tersebut setelah shalat, saya menemui jamaah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan tauhid yang telah Allah anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui bahwa siapa saja yang masuk Islam wajib baginya berkhitan, maka segala puji dan anugerah milik Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan tersebut sebagai bentuk meneladani bapaknya para nabi, yaitu Ibrahim q yang melakukan khitan pada usia 80 tahun (Sebagaimana Rasulullah n bersabda : Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “al-Qoduum” (nama alat atau tempat).( HR. Al-Bukhori (3356) dan Muslim (2370).)).

Itulah diriku, saya telah memulai hidup baru dibawah naungan agama kebenaran, agama yang penuh dengan kasih sayang dan cahaya. Saya senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab Allah Ta’aala dan sunnah Rasulullah n sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) umat ini, dari kalangan para sahabat g beserta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Segala puji bagi Allah atas anugerah Islam dan as-Sunnah.


Dialihbahasakan oleh Abu Zahro Imam Wahyudi Lc. dari majalah ad-Da’wah as-Salafiyah-Palestina edisi perdana, Muharram 1427 H halaman: 21-24.


ummusalma.wordpress.com


Read More...

09 Desember 2009

Sunnahkah Nasyid Islami?

Kita telah mengetahui haramnya hukum nyanyian dan musik sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai hadits yang shahih. Tidak pula diketahui adanya khilaf di antara para ulama Salaf mengenai masalah ini. Namun, belakangan kemudian timbul wacana baru yang dilontarkan oleh orang-orang yang menamai dirinya sebagai seniman muslim tentang nasyid islami. Mereka menyatakan dan menganggap nasyid Islami sebagai metode baru dalam dakwah dan cara lain dalam bertaqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Betulkah demikian...?


Mengenal Nasyid

Tahukah engkau saudaraku, bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling melemparkan sya’ir dengan bersahut-sahutan. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah spontanitas, tidak berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut nasyid. Nasyid itu meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.
Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga dibolehkan secara mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena nasyid bisa saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau peringatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.”
(Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad (III/456, V/125), ad-Daarimi (II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sya’ir, maka beliau bersabda, artinya:
“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik, dan sya’ir yang buruk adalah buruk.”
(Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan takhrijnya telah diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah no. 447)

Nasyid Pada Zaman Dahulu

Orang-orang Arab pada zaman dulu biasa membakar semangat dalam berperang dengan melantunkan sya’ir-sya’ir. Dan banyak pula orang-orang asing di antara mereka yang hendak berhaji melantunkan sya’ir tentang ka’bah, zam-zam, dan selainnya ketika berada di tengah perjalanan. Abdullah bin Rawahah pun pernah melantunkan sya’ir untuk menyemangati para shahabat yang sedang menggali parit ketika Perang Khandaq. Beliau bersenandung, "Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." Kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain, "Kita telah membai'at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad."
(Rasa'ilut Taujihat Al Islamiyah, I/514–516)
Akan tetapi, para Shahabat tidak melantunkan sya’ir setiap waktu, mereka melakukannya hanya pada waktu-waktu tertentu dan sekedarnya saja, tidak berlebihan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, artinya:
“Sesungguhnya penuhnya rongga perut salah seorang di antara kalian dengan nanah itu lebih baik baginya daripada penuh dengan sya’ir.”
(Riwayat Imam Bukhari no. 6154 dalam Bab Dibencinya Sya’ir yang Mendominasi Seseorang, Sehingga Menghalanginya Dari Dzikir Kepada Allah, ‘Ilmu dan al-Qur’an, diriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Maksud dari riwayat di atas adalah kecenderungan hati seseorang kepada sya’ir-sya’ir sehingga menyibukkannya dan memalingkannya dari kesibukan dzikrullah dan mentadabburi al-Qur’an, itulah orang-orang yang dikatakan sebagai orang dengan rongga perut yang penuh dengan sya’ir. (Fat-hul Baari X/564)

Nasyid Pada Zaman Sekarang

Nasyid yang ada pada zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan nyanyian dan musik yang telah jelas keharamannya. Berbeda dengan zaman dahulu, sya’ir-sya’ir sekarang mulai dilagukan dan mengikuti kaidah/aturan seni musik, sehingga menjatuhkan pelakunya kepada bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir dan fasik. Ditambah lagi, kelompok nasyid yang belakangan didominasi oleh kaum laki-laki ini menambahkan alat musik sebagai ‘pemanis’ di dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “(Setelah diketahui dari riwayat yang shahih bahwa) Bernyanyi, memainkan rebana, dan tepuk tangan adalah perbuatan kaum wanita, maka para ulama Salaf menamakan para laki-laki yang melakukan hal itu dengan banci, dan mereka menamakan penyanyi laki-laki itu dengan banci, dan ini adalah perkataan masyhur dari mereka.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah XI/565-566)
Nasyid yang seperti ini adalah kelanjutan dari bid’ahnya kaum sufi yang menjadikan nyanyian-nyanyian (mereka menamakannya dengan as-sama’) sebagai bentuk ibadah dan keta’atan mereka kepada Allah. Kaum sufi menganggap bahwa sya’ir-sya’ir yang mereka sebut dengan at-taghbiir (sejenis sya’ir yang berisikan anjuran untuk zuhud kepada dunia) adalah bentuk dzikir mereka kepada Allah, sehingga mereka layak untuk dikatakan sebagai al-mughbirah (orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan do’a dan wirid). Ketika mereka melantunkan ‘dzikir’ mereka, mereka menambahkannya dengan kehadiran alat-alat musik yang semakin menambah keharamannya, tetapi mereka menganggap itu sebagai upaya untuk melembutkan hati. (??)
Kelompok-kelompok nasyid pada zaman sekarang yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka ingin menggeser kesukaan para pemuda terhadap lagu-lagu dan musik yang tidak Islami kepada lagu-lagu dan musik yang mereka labelkan ‘Islami’, adalah orang-orang yang telah terpengaruh dengan syubhat kaum sufi.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa beribadah dengan sya’ir dan bernasyid pada bentuk dzikir, do’a dan wirid adalah bid’ah. Dan ini lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan berdzikir. (Tash-hiidud Du’aa hal. 78)

Bagaimana Nasyid Menjadi Bid’ah?

Bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Maka, penamaan nasyid Islami adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats) dan tidak ada contoh dari Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi, maka amalan itu tertolak.
Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyebutkan tentang pensyari’atan nasyid atau penggolongan nasyid sebagai bagian dari agama. Adapun menjadikan nyanyian dan musik sebagai bagian dari agama adalah pemahaman yang dimiliki oleh kaum sufi, sebagaimana telah diterangkan di atas. Selain itu, beribadah dengan menyanyikan sya’ir adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Dan kaum Nashara pun menjadikan nyanyian sebagai bentuk dzikir dan do’a mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Fataawa Ibn Taimiyah: "Bid'ah adalah yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasul, atau ijma' para ulama as-Salaf berupa ibadah maupun i'tiqad, seperti pendapat kalangan Khawarij, Rafidhah, Syi'ah, Qadariyah, Jahmiyah dan mereka yang beribadah dengan tarian dan nyanyian di dalam masjid."
Para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam dan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum serta para Salafush Shalih tidak pernah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menggunakan nasyid-nasyid Islami seperti yang ada pada zaman sekarang. Adapun sya’ir-sya’ir yang mereka lantunkan pada waktu-waktu tertentu hanya dimaksudkan sebagai pengobar semangat ketika bekerja atau berperang, dan mereka tidak berlebihan dalam hal ini dan tidak pula menjadikannya sebagai kebiasaan apalagi menjadikannya kecintaan.
Nasyid juga bukan merupakan metode dakwah yang pernah dilakukan oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam, dan tidak pula para Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah melakukannya. Seandainya nasyid itu dikatakan sebagai metode dakwah, maka dengan begitu pelakunya telah mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna dalam menyampaikan risalah, karena beliau belum mengabarkan tentang berdakwah dengan nasyid.
Sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
Artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maaidah: 3)
Ayat di atas sebagai penjelas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan keseluruhan risalah yang disampaikan oleh Rabbnya melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam. Maka, apa-apa yang tidak termasuk syari’at pada hari itu, dia tidak akan menjadi syari’at pada hari ini dan hari-hari berikutnya. Dan pada hari itu, Allah dan Rasul-Nya tidak memasukkan nasyid sebagai syari’at Islam, maka apakah nasyid dapat menjadi syari’at pada hari ini..?

Demikianlah saudaraku, dapat kita simpulkan bahwa nasyid tidaklah mendatangkan manfaat bagi kita kecuali hanya sedikit sekali (dan ini sangat amat terbatas pada nasyid yang dibolehkan). Islam tidak pernah mensyari’atkan nasyid, akan tetapi Islam mensyari’atkan untuk berdzikir kepada Allah, mentadabburi al-Qur’an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Dan sesungguhnya berdzikir yang paling afdhal adalah dengan membaca al-Qur’an, sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya,
Artinya: “Dan Kami turunkan al-Qur’an yang merupakan obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-Israa’: 82)
Tidaklah seorang Muslim yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat itu melakukan perbuatan yang sia-sia, kecuali dia meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya:
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”
(Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi no. 2317, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Bagaimana jadinya jika syaithan membuat hati kita lebih cenderung kepada nasyid daripada kepada Kitabullah al-Karim..??

Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.


Maraji’:
Adakah Musik Islami?, Muslim Atsari, cet. Pustaka at-Tibyan.
Al-Qaulul Mufiid fii Hukmil an-Naasyiid, Isham ‘Abdul Mun’im al-Murri, cet. Maktabah al-Furqan.
Buletin an-Nur-Musik Dalam Kacamata Islam, edisi Senin 12 Mei 2008.
Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa.
Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid'ah fii Dhauil Kitaab was Sunnah, Said bin 'Ali bin Wahf al-Qaththani, cet. Muassasah al-Juraisi, Riyadh.

Sumber: http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com

Read More...

05 Desember 2009

PERSELISIHAN ADALAH RAHMAT, BENARKAH??!!

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf

I. PENGANTAR

“Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca hadits ini. Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini.

Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban: Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan?! Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya. Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Amiin.

B. TEKS HADITS

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

Perselisihan umatku adalah rahmat.

* TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir: “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!”[1] Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim.

* Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92.[2]

* Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”.[3]

* Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!

* Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi. Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]

C. MENGKRITISI MATAN HADITS

Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits:

“Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”.[5]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata:

“Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syari’at yang berbeda-beda!!

Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa diantara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan! Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an (yang artinya):

Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

(QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!

* Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah. Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!

Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at[6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah (yang artinya):

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Anfal: 46)

Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini”. [7]

D. SALAH MENYIKAPI PERSELISIHAN

Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah berfirman (yang artinya):

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.

(QS. Hud: 118-119)

Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dalam kesalahan dalam memahaminya:

* Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan “Ini adalah masalah khilafiyyah“, “Jangan mempersulit manusia“. Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan zaman sekarang.[8]

* Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.

E. MEMAHAMI PERSELISIHAN

Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini[9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Perselisihan Tercela

Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:

1. Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[10]
2. Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[11]
3. Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[12].

* Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan. Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.

وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا

إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ

Tidak seluruh perselisihan itu dianggap

Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[13].

Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela

Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”.[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:

1. Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
2. Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
3. Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[15].

Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.

* Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[16]

* Imam Syafi’I pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[17]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. Camkanlah firman Allah, yang artinya:

Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS. An-Nisa’: 59)

F. Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Allamah Muhammad bin ShalihAl- ‘Utsaimin

* “Termasuk di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.

* Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para shahabat dan tabi’in, seperti masalah aqidah yang telah yang telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal perselisihan tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap perselisihannya”.[18]



Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

www.abiubaidah.com



CATATAN KAKI:
[1] Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini, katanya: “Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan hadits palsu, bathil dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak mendapati ulama yang mengeluarkannya”. (Al-Mudawi li ‘Ilalil Jami’ Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).

[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 57

[3] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.

[4] Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto’a fi Tashihiha Ba’dhul Ulama hlm. 99-103 oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-’Uwain.

[5] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)

[6] Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Perselisihan bukanlah rohmat, persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan maka ia adalah kejelekan dan kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud”. (Syarh Mandhumah Al-Ha’iyah hlm. 193).

[7] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/142-143 -secara ringkas-.

[8] Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu’ashir oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.

[9] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.

[10] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.

[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.

[12] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.

[13] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[14] Ar-Risalah hlm. 259.

[15] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.

[16] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.

[17] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 10/16, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’I dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.

[18] Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.


Read More...

Download Audio: Tanda-Tanda Hati Yang Sehat (Ustadz Yazid Jawas) [PENTING]

Alhamdulillah, saudaraku -rahimakumullah- silakan download kajian yang sangat penting yang di sampaikan oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dengan tema ” Tanda-tanda Hati yang Sehat dan Sakit “. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Silakan download pada link berikut ini: salafiyunpad.wordpress.com


Read More...

Download Audio: MUNGKINKAH SUNNAH & SYI’AH BERSATU? (Ust. Abu Qotadah) [PEnting]

Alhamdulillah, saudaraku rahimakumullah, silakan download kajian dengan tema MUNGKINKAH SUNNAH DAN SYI’AH BERSATU?. Kajian ini disampaikan oleh Ustadz Abu Qotadah hafizhahullah – beliau adalah pimpinan Pesantren Ihya’ As Sunnah Tasikmalaya dan Murid dari Al Imam Muqbil al Wadi’iy rahimahullah-. Semoga kajian ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Silakan download pada link berikut: salafiyunpad.wordpress.com


Read More...

03 Desember 2009

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita...!

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Sumber: http://asysyariah.com


Read More...

Hidayah Itu Mahal Wahai Saudaraku

Oleh Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah

Pernahkah terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya?

Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid, itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan.

Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang-benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan.

Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekadar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya.

Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudariku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada jalan-Nya yang lurus.
Dalam Tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)

Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat:
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.”
Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf: 5)

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]

Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:
1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih selain beliau, dalam ayat:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56)

Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau, 9/340-341)

Saudariku, bersyukurlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat yang haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah kepada jalan yang lurus.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6)

Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya?
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu memberikan jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memohon hidayah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38)

Berbahagialah dengan hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepadamu. Satu lagi yang penting, jangan engkau jual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)

Kata Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullahu, “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24)
Lalu apa persangkaanmu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di dalam hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam.

Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin ….

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: http://www.asysyariah.com


Read More...
 

Romie's Blog

Akhwat.web.id

Nasihat Online