Dakwah Tauhid

Bahasa Arab Online

Muslimah.or.id

29 November 2009

Sepenggal Ucapan Indah dari Salaf Nan Shalih

Oleh Ustadz Adni Kurniawan, Lc.

‘Ali Ibn Abī Thālib berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi berpaling sedangkan akhirat datang menghadap. Masing-masing dari keduanya memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Ketahuilah, sesungguhnya mereka yang zuhud di dunia menjadikan bumi sebagai permadani, tanah sebagai kasur dan air sebagai minyak wangi. Ingatlah, siapa saja yang merindui surga niscaya terhibur dan terlupakan dari syahwat; barangsiapa yang takut dengan neraka niscaya mundur dari hal-hal yang diharamkan; dan barangsiapa yang zuhud di dunia maka terasa ringan baginya segala musibah.” [Ar-Riqqah wal Bukā` fī Akhbār ash-Shālīhīn wa Shifātihim, Imam Ibn Qudāmah, hal. 31; Az-Zuhd, hal. 130; dan Al-Bayhaqi dalam Syu'ab Al-Īmān no. 9670]

‘Aun Ibn ‘Abdillah berkata, “Kedudukan dunia dan akhirat dalam hati seseorang adalah bagaikan dua sisi timbangan. Jika salah satunya sisinya menurun maka sisi lainnya terangkat.”

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kita menjadikan untuk dunia adalah sisa dari akhirat mereka. Namun sekarang kalian justru menjadikan untuk akhirat kalian adalah sisa dari dunia kalian.” [Shifah Ash-Shafwah, vol. III, hal. 101]

Dari Muhammad Ibn Abī ‘Imrān, ia mendengar Hātim al-Ashamm ditanya oleh seseorang, “Di atas apa engkau membangun segala urusanmu dalam hal tawakkal kepada Allah?” Hātim menjawab, “Di atas empat perkara. (1) Aku tahu rizkiku tidak akan dimakan oleh selainku, karena itu jiwaku pun tentram. (2) Aku tahu amalanku tidak akan dilakukan oleh selainku, karena itu aku pun tersibukkan dengannya. (3) Aku tahu kematian akan mendatangiku secara tiba-tiba, karena itu aku pun bersegera untuk itu. (4) Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah terlepas dari penglihatan Allah di mana pun aku berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” [Shifah ash-Shafwah, IV/161. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 21]

Yahya Ibn Mu’ādz berkata, “Sungguh kasihan anak Adam, sekiranya saja ia takut neraka sebagaimana ia takut kemiskinan niscaya ia akan masuk surga.” [Ihyā` 'Ulūm ad-Dīn, vol. IV, hal. 162. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 25]

Beliau juga berkata, “Wahai anak Adam, kau meminta dunia dengan tuntutan orang-orang yang benar-benar butuh kepadanya. Namun kau meminta akhirat dengan tuntutan orang-orang yang tidak membutuhkannya. Padahal, apa yang kau dapatkan dari dunia sudah cukup meskipun kau tidak memintanya, sementara akhirat akan kau dapatkan dengan menuntut dan memintanya. Karena itu, sadarilah kondisimu.” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 93]

Fudhayl Ibn ‘Iyādh berkata, “Rasa takut seorang hamba kepada Allah adalah sebesar tingkat keilmuannya terhadap Allah; dan tingkatan zuhudnya terhadap dunia adalah sebesar hasratnya terhadap akhirat.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 28]

Suatu ketika beliau ditanya, “Bagaimanakah keadaanmu?” Fudhayl menjawab, “Keadaan mana yang engkau maksud? Keadaan dunia atau keadaan akhirat? Jika engkau bertanya tentang keadaan dunia, maka dunia telah condong bersama kami dan membawa kami kemana pun ia pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka bagaimanakah engkau melihat keadaan orang yang telah banyak dosanya, lemah amalannya, fana umurnya, belum memiliki bekal untuk hari kembali, belum siap menghadapi kematian, serta belum tunduk, belum berusaha dengan sungguh-sungguh dan berhias untuk kematian, namun justru berhias untuk dunia.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 37]

Abū Muslim al-Khaulāni berkata, “Sekiranya aku melihat surga dengan mata kepala, maka aku tidak mempunyai bekal (untuk ke sana); dan sekiranya aku melihat neraka dengan mata kepala, aku juga tidak mempunyai bekal (untuk selamat darinya).” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 213; dan Siyar A'lām an-Nubalā`, vol. IV, hal. 9]

Sumber: Blog Ustadz Adni Kurniawan

Dipublikasikan oleh www.salafiyunpad.wordpress.com


Read More...

[kiamat 2012] KIAMAT YANG BEGITU DEKAT, MENGAPA HARUS DIRAMAL?

Orang ramai bicara tentang kiamat, saat kehancuran bumi yang kemudian diikuti dengan dibangkitkannya manusia kembali. Kini semakin ramai diperbincangkan kembali. Bukan masalah ada atau tidaknya kiamat, karena hampir semua orang percaya adanya kiamat. Yang sedang hangat didiskusikan adalah kapan kiamat itu tiba.

Alam dunia adalah salah satu fase kehidupan yang dilalui oleh manusia, suatu saat nanti dunia ini akan berakhir dan manusia berpindah kepada fase kehidupan berikutnya yaitu alam akhirat. Akhir kehidupan dunia inilah yang disebut kiamat.


Sesungguhnya setiap makhluk hidup —apakah itu manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan— memiliki tanda-tanda dari akhir kesudahan hidupnya di dunia. Tanda-tanda dekatnya kematian manusia adalah rambut beruban, tua, sakit, atau lemah. Begitu juga halnya dengan hewan, hampir sama dengan manusia. Sementara tumbuhan warna menguning, kering, jatuh, lalu hancur. Demikian juga alam semesta, memiliki tanda-tanda akhir masanya seperti kehancuran dan kerusakan.

Kiamat disebut juga dengan Sa’ah. Sa’ah asalnya adalah sebagian malam atau siang. Dikatakan juga bahwa sa’ah segala sesuatu berarti waktunya hilang dan habis. Dari makna ini, sa’ah atau kiamat mengandung dua macam, yaitu:

Sa’ah khusus bagi setiap makhluk, seperti tanaman, binatang dan manusia ketika mati; dan bagi sebuah umat jika datang ajalnya. Itu semua dikatakan telah datang saatnya.

Sa’ah umum bagi dunia secara keseluruhan ketika ditiup sangkakala, maka hancurlah segala yang di langit dan di bumi.

Bagaimana dengan kiamat yang sebenarnya? Tentu saja lebih dahsyat, lebih besar, dan lebih mengerikan. Al-Quran banyak menyebutkan tentang kejadian di hari kiamat. Tanpa keraguan sedikit pun, kaum muslimin meyakini bahwa kiamat memang akan tiba. Kepastian terjadinya ditetapkan oleh dalil-dalil al-Quran dalam jumlah yang banyak.

Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

“Dan sesungguhnya Sa’ah (Hari Kiamat) Itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj: 7).

“Sesungguhnya Hari Kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (Ghafir: 59).

KEDATANGANNYA DIDAHULUI DENGAN TANDA

Terjadinya kiamat adalah hal yang ghaib. Hanya Allah yang tahu. Tidak satu pun makhluk-Nya mengetahui kapan kiamat, baik para nabi maupun malaikat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.” (Luqman:34)

Karena itulah, ketika ditanya tentang hal ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengembalikannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Kepada-Nya lah dikembalikan pengetahuan tentang hari kiamat.” (Fushilat:47)

Allah merahasiakan terjadinya hari kiamat, dan menerangkan bahwa kiamat akan datang secara tiba-tiba.

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’” (Al-A’raf: 187)

Ibnu Katsir berkata, “Firman Allah, ‘Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia’ adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam, apabila beliau ditanya tentang waktu terjadinya kiamat, hendaklah mengembalikan pengetahuan tentang itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Dialah yang menjelaskan waktu kedatangannya atau mengetahui kejelasan
perkara itu dan kapan kepastian waktunya.’ (Tafsir Ibnu Katsir juz III hal. 518)

Meskipun tidak diketahui, kiamat sebenarnya sudah dekat waktu kedatangannya. Allah nyatakan di dalam al-Quran,

“Manusia bertanya kepadamu tentang Hari Berbangkit. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi Hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (Al-Ahzab:63)

“Telah dekat datangnya sa’ah itu dan telah terbelah bulan.” (Al-Qamar: 1).

Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam, di antaranya, pernah bersabda menyatakan betapa dekatnya waktu datangnya hari kiamat,

“Aku diutus, sedangkan aku dan Hari Kiamat adalah seperti ini,’ beliau menyandingkan antara jari tengah dan jari telunjuk.” (Syu’abul Iman juz VII hal 259/260 no. 10235, menurut penulisnya hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dari hadits Abu Hushain).

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim ketika Jibril datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya tentang kapan Kiamat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab,

“Yang ditanya tentang Hari Kiamat tidak lebih mengetahui dari yang bertanya.” (Shahih al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 9)

Namun demikian, sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya telah menjadikan kiamat memiliki alamat yang menunjukkan ke arah itu dan tanda-tanda yang mengantarkannya.

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tanda-nya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila hari kiamat sudah datang?” (Muhammad: 18)

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula) (Al-An’am: 158)

Tanda-tanda kiamat adalah alamat kiamat yang menunjukkan akan terjadinya kiamat tersebut. Tanda-tanda kiamat ada dua: tanda-tanda kiamat besar dan tanda-tanda kiamat kecil.

Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama, dan kejadiannya biasa, seperti dicabutnya ilmu, dominannya kebodohan, minum khamr, berlomba-lomba dalam membangun, dan lain-lain. Terkadang sebagiannya muncul menyertai tanda kiamat besar atau bahkan sesudahnya.

Tanda kiamat besar adalah perkara yang besar yang muncul mendekati kiamat yang kemunculannya tidak biasa terjadi, seperti muncul Dajjal, Nabi Isa, datangnya Ya’juj dan Ma’juj, terbit matahari dari Barat, dan lain-lain.

Para ulama berbeda pendapat tentang permulaan yang muncul dari tanda kiamat besar. Tetapi Ibnu Hajar berkata, “Yang kuat dari sejumlah berita tanda-tanda kiamat, bahwa keluarnya Dajjal adalah awal dari tanda-tanda kiamat besar, dengan terjadinya perubahan secara menyeluruh di muka bumi. Dan diakhiri dengan wafatnya Isa.”

Sedangkan terbitnya matahari dari barat adalah awal dari tanda-tanda kiamat besar yang mengakibatkan perubahan kondisi langit. Dan berakhir dengan terjadinya kiamat.” Ibnu Hajar melanjutkan, “Hikmah dari kejadian ini bahwa ketika terbit matahari dari barat, maka tertutuplah pintu taubat.” (Fathul Bari)

Jadi kalau kita perhatikan, sebagian tanda kiamat kecil di atas jelas sudah kita jumpai di zaman kita dewasa ini. Bahkan bila kita buka kitab para ulama yang menghimpun hadits-hadits mengenai tanda-tanda kecil Kiamat, lalu kita baca satu per satu hadits-hadits tersebut hampir pasti setiap satu hadits selesai kita baca kita akan segera bergumam di dalam hati: “Wah, yang ini sudah..!” Hal ini akan selalu terjadi setiap habis kita baca satu hadits. La haula wa la quwwata illabillah….

Jika tanda-tanda kecil Kiamat sudah hampir muncul seluruhnya berarti kondisi dunia dewasa ini berada di ambang menyambut kedatangan tanda-tanda besar Kiamat.

SIAPA BISA MERAMAL KIAMAT?

Banyak peramal meramaikan bursa dugaan datangnya kiamat. Isaac Newton dikabarkan meramalkan kiamat pada tahun 2060. Sebagian orang beranggapan, berdasarkan perhitungan kalander bangsa Maya. Kiamat, menurut anggapan mereka, terjadi pada tahun 2012, tepatnya 21 ‘Desember. Wow!

Bukan berarti anti kiamat, namun terlalu na’if membenarkan sebuah prediksi yang kesannya terlalu dipaksakan. Memang saat ini kita masuk kedalam zaman akhir, namun akhir zaman tetaplah sebuah misteri kepunyaan Allah. Tidak ada dalam satu agama manapun yang menyebutkan secara eksplisit kapan terjadinya kiamat dengan secara terbuka. Semua hanyalah bersifat tanda-tanda. Kiranya dengan begitu manusia menyadari bahwa setiap hari
bisa menjadi akhir untuk hidup mereka di dunia dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diberi sebuah wewenang untuk mengetahui kapan secara pasti hari kiamat akan terjadi. Yang terjadi saat ini adalah sebuah kesoktahuan manusia untuk berusaha memprediksi angka jadi kapan dunia ini akan berakhir.

Terkait dengan akhir penanggalan panjang suku Maya jelas itu hanya hitung-hitungan yang penuh dugaan. Tidak layak seorang muslim mempercayai ramalan semacam itu. Kalaulah benar tahun 5126 M yang bertepatan dengan tahun 2012 M adalah tahun berakhirnya penanggalan mereka yang diyakini pula dengan berakhirnya dunia maka bukanlah berarti bahwa dunia ini akan hancur (kiamat), dikarenakan menurut kosmologi suku Maya bahwa bumi diciptakan 5 kali dan dihancurkan 4 kali. Dengan demikian siklus kalender Maya boleh berakhir, namun siklus baru akan kembali berulang.

Bahkan sebagian ahli mengatakan,

‘Ramalan-ramalan itu benar-benar tidak ada dasarnya sama sekali, apalagi di kebudayaan Maya yang kita kenal,” kata Stephen Houston, profesor antropologi di Brown University, yang juga ahli tulisan hieroglif Maya. “Penggambaran bangsa Maya tidak pernah menyebut-nyebut hal ini.”katanya.

Bangsa Maya melihat bahwa tanggal tersebut adalah tanggal kalender mereka, tapi kemudian mengulang kalender mereka kembali tanpa adanya bencana sama sekali.

Sebagian meramal berdasar teori planet Nibiru, bantahan yang ada dari seorang ahli di NASA mengatakan “Kami saja sampai sekarang masih berdebat soal Pluto, tiba-tiba ada orang yang mengatakan adanya planet Nibiru. Dari mana ini? Lucu sekali, kami sampai sekarang belum bisa menemukan planet lain, sudah ada yang menemukan planet Nibiru pula,
tanpa ada konfirmasi dari mana berita itu muncul.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Kunci-kunci ghaib itu lima, ‘Sesungguhnya hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada didalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada yang seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Shahih al-Bukharino.4261)

Al-Qurthubi menyebutkan pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kelima kunci ghaib tersebut tidaklah ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu juga tidak diketahui oleh para malaikat, para Nabi yang diutus. Karena itu barang siapa yang beranggapan bahwa dirinya mengetahui sesuatu tentang itu semua, maka orang itu telah mengingkari al-Quran dikarenakan ia telah menyalahinya. (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran juz XIV hal. 400)

Allah lah yang mengetahui kebenaran hakikinya, bahkan terhadap berbagai penafsiran tentang alam semesta ini, perkembangan alam maupun kehidupan yang seluruhnya merupakan teori-teori, seperti halnya teori ledakan besar, teori ini dan itu. Sebagaimana sebuah teori, tentu akan ada pula sebagian ilmuwan lainnya yang melakukan penyanggahan terhadapnya dengan berbagai teori lainnya dan begitulah selanjutnya. Adapun hakikat kebenarannya di dalam permasalahan ini tidaklah ada yang mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla, sebagaimana disebutkan didalam Al-Quran.

Lantas mengapa sebagian kita percaya dengan ramalan tersebut bahkan merasa harus menguatkan dengan uthak-athik dalil?

========
disalin dari Majalah Fatawa, Vol. V / No.11 Dzulhijjah 1430-November 2009, hal. 8-11

Sumber: Jilbab Online

Read More...

Hukum Seputar Penyembelihan Qurban

Oleh Al Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Ahkam Al-Udhhiyah (Sembelihan Kurban)

Definisi Udhhiyah:
Udhhiyah adalan nama hewan yang akan disembelih, yaitu hewan tertentu yang dikhususkan untuk disembelih dengan niat taqarrub kepada Allah yang dilakukan pada waktu tertentu -yaitu pada tanggal 10 Zulhijjah dan ketiga hari tasyriq-, dengan syarat-syarat tertentu pula. Lihat: Tanwir Al-Ainain hal. 314

Hukumnya:
Kaum muslimin sepakat akan disyariatkannya berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)
Mereka hanya berbeda pendapat apakah hukumnya wajib ataukah sunnah?
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat Abu Bakar, Umar, Abu Mas’ud Al-Badri, Bilal, Suwaid bin Ghaflah, Said bin Al-Musayyab, Asy-Sya’bi, Said bin Jubair, Al-Hasan, Thawus, Jabir bin Zaid, Abu Asy-Sya’tsa`, Muhammad bin Ali bin Al-Husain, Alqamah, Al-Aswad, Atha`, Sufyan, Abdullah bin Al-Hasan, Abu Yusuf, Malik, Asy-Syafi’i, Al-Muzani Ahmad, Abu Sulaiman Daud bin Ali, Ishaq, Abu Tsaur, Daud, dan Ibnu Al-Mundzir. Lihat Al-Mughni (11/94), Al-Majmu’ (8/385) dan Al-Muhalla (7/358).
Mereka berdalil dengan beberapa dalil di antaranya:
1. Hadits yang shahih dari seluruh jalan-jalannya dimana disebutkan bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyembelih dua ekor domba: Salah satunya untuk beliau dan keluarga beliau dan yang satunya untuk umat beliau. Datang dari hadits Jabir riwayat Abu Daud (2795,2810), At-Tirmizi (1521), Ibnu Majah (3121), Ahmad (3/356,362,375) dan selainnya, juga datang dari hadits Ibnu Umar riwayat At-Tirmizi (1506) dan Ibnu Majah (3124), juga dari hadits Abu Rafi’ riwayat Al-Hakim (4/229) dan selainnya, juga hadits Abu Thalhah riwayat Ibnu Abi Syaibah, sebagaimana dalam Al-Mathalib (2323), juga hadits Aisyah riwayat Abu Daud (2792), Ahmad (6/78), dan selainnya, dan juga dari hadits Abu Said riwayat Al-Hakim (4/228) dan selainnya.
Sisi pendalilannya: Barangsiapa di antara umat beliau yang tidak menyembelih maka sembelihan beliau sudah mencukupinya. Ini menunjukkan umat beliau sudah tidak wajib lagi untuk menunaikan udhhiyah, tapi tetap disunnahkan. Demikian disebutkan dalam Syarh Az-Zarkasyi (8/386)
2. Hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ, فَلاَ يَمُسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika sepuluh hari pertama Zulhijjah telah masuk dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih maka jangan dia mencabut rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1977 dan selainnya)
Sisi pendalilan: Beliau mengaitkan hukum udhhiyah dengan keinginan seseorang dan ini menunjukkan sunnahnya, karena pelaksanaan sebuah kewajiban tidaklah ditentukan oleh keinginan hamba.
Adapun dalil-dalil yang memerintahkan udhhiyah maka: Ada yang tidak shahih, ada yang shahih tapi tidak tegas menunjukkan wajibnya, dan ada yang shahih dan tegas memerintahkan akan tetapi perintahnya dipalingkan kepada makna sunnah dengan kedua dalil di atas, wallahu a’lam.
[Lihat Al-Mughni (11/94) dan Al-Muhalla (7/355-358)]

Mana yang Afdhal, Udhhiyah atau Bersedekah Dengan Harganya (Uang)?
Udhhiyah lebih afdhal karena itulah yang dikerjakan oleh Rasululah -alaihishshalatu wassalam- dan kaum muslimin sepeninggal beliau. Ini adalah pendapat Rabiah guru Imam Malik, Abu Az-Zinad, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan selainnya.
Hanya saja Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Jika kaum muslimin terdesak sehingga mereka sangat membutuhkan sedekah, maka dalam keadaan seperti bersedekah lebih afdhal.” (Asy-Syarhul Mumti: 7/521-522)
[Lihat: Al-Majmu’ (8/425) dan Al-Mughni (11/95)]

Hewan Apa yang Disembelih?
Para ulama sepakat bahwa yang disembelih adalah bahimah al-an’am (hewan ternak) berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 28) dan ayat 34 di atas.
Yang dimaksud dengan ‘bahimah’ di sini adalah: Onta, sapi/kerbau, dan kambing/domba/biri-biri. Maka tidak termasuk darinya: Rusa/kijang, kuda, itik, ayam, burung, dan selainnya selain ketiga hewan di atas.
Kata ‘al-an’am’ artinya hewan yang diternakkan, maka dikecualikan darinya semua hewan yang tidak diternakkan atau hewan liar, walaupun dia berupa sapi atau kambing.
Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai keabsahan udhhiyah pada selain bahimah al-an’am. Mayoritas ulama berpendapat tidak syahnya udhhiyah selain dari ketiga hewan di atas. Inilah pendapat yang kuat yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Ahmad. Maka yang boleh disembelih hanyalah onta ternak (bukan yang liar) dengan semua jenisnya, sapi/kerbau ternak dengan semua jenisnya, dan kambing ternak dengan semua jenisnya, tidak syah dengan selain ketiga hewan ternak ini. Karenanya tidak pernah ternukil dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabat mereka pernah menyembelih selain ketiga hewan ini.
[Lihat: Al-Majmu’ (8/393), Badai’ Ash-Shanai’ (5/104), dan Al-Muhalla (7/370)]

Udhhiyah yang afdhal.
Yang paling afdhal adalah yang lebih mahal dan lebih berharga bagi pemiliknya. Karenanya menyembelih onta lebih afdhal daripada sapi dan sapi lebih utama daripada kambing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hanya saja ini berlaku jika satu onta atau sapi mewakili satu orang, adapun jika satu ekor onta atau sapi untuk tujuh orang sedang kambing untuk satu orang, maka yang lebih utama adalah satu kambing untuk satu orang.
Kesimpulannya: Yang terbaik adalah onta kemudian sapi kemudian kambing kemudian stau onta untuk tujuh orang kemudian satu sapi untuk tujuh orang. Yang jantan afdhal dari yang betina, yang gemuk afdhal dari yang kurus, dan yang bertanduk afdhal dari yang tidak. Lihat Al-Muhalla (7/372)

Beberapa Hukum Seputar Udhhiyah
a. Tidak boleh menjual kulitnya, bulunya, susunya, dan dagingnya.
Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat -sepanjang pengetahuan saya- akan tidak bolehnya menjual dagingnya. Mereka berbeda pendapat mengenai kulitnya, bulunya, dan bagian lainnya yang bisa dianfaatkan (apakah bisa dijual)? Mayoritas ulama berpendapat tidak bolehnya.” Selesai yang diinginkan dari As-Subul (4/177)
Kami katakan: Khusus untuk kulitnya, jika dia menjualnya maka hasil penjualannya harus dia sedekahkan, wallahu a’lam.
[Lihat: Al-Umm (2/351) dan Al-Majmu’ (8/419-420)]
b. Hukum mengganti hewan udhhiyah.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (7/509) menguatkan pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya mengganti udhhiyah dengan yang lebih baik daripada sebelumnya. Tidak boleh menggantinya dengan yang lebih rendah nilainya, sedangkan menggantinya dengan yang semisalnya adalah perbuatan sia-sia.
c. Tidak boleh memberi upah kepada tukang potong/sembelih dengan daging udhhiyah. Ini berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- beliau berkata:
وَأَمَرَنِي أَنْ لاَ أُعْطِيَ الجَزُوْرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ: نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Dan beliau memerintahkan saya untuk tidak memberikan dagingnya sedikitpun kepada tukang potong dan beliau bersabda, “Kami akan memberikan upahnya dari harta kami.” (HR. Mslim no. 1317)
Tapi jika dia adalah orang miskin maka tidak mengapa memberikan daging udhhiyah disamping dia juga berhak menerima upah pekerjaannya.
d. Jika dia sudah membeli dan menetapkan mana hewan udhhiyahnya, lalu dia kembali menjualnya maka Imam Asy-Syafi’i menyatakan kalau jual belinya tidak syah dan dia harus menarik kembali udhhiyah tersebut dan mengembalikan uang kepada pembelinya.

Masalah Aib/Cacat Pada Udhhiyah
Al-Barra` bin Azib berkata, “Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- ditanya tentang hewan yang harus dijauhi dalam udhhiyah. Maka beliau menjawab:
أَرْبَعًا: اَلْعُرْجَاءَ الْبَيِّنَ ضَلْعُهَا, وَالْعَوْرَاءَ الْبَيِّنُ عَوْرُهَا, وَالْمَرِيْضَ الْبَيِّنَ مَرَضُهَا, وَالْعُجْفَاءَ الَّتِى لاَ تَنْقَى
“Ada empat: Pincang yang jelas kepincangannya, aura` (rusak sebelah matanya) yang jelas a’warnya, sakit yang jelas sakitnya, dan kurus yang tidak mempunyai sum-sum.” (HR. Abu Daud no. 2802, At-Tirmizi no. 1497, An-Nasai no. 4369-4371, dan Ibnu Majah no. 3144)
Imam Ibnu Qudamah menukil ijma’ dalam Al-Mughni (11/100) akan tidak syahnya udhhiyah yang mempunyai salah satu dari cacat di atas.
a. Yang dimaksud dengan pincang di sini adalah kepincangan yang parah lagi jelas sehingga dia tidak bisa menyusul teman-temannya menuju makanan, yang menyebabkan dagingnya/berat badannya berkurang. Jika kepincangannya tidak sampai pada keadaan di atas maka syah menyembelih dengannya. (Al-Mughni: 11/100)
b. Yang dimaksud dengan a’war di sini adalah kerusakan yang nampak/kentara pada salah satu atau kedua matanya. Adapun jika salah satu matanya tidak melihat akan tetapi matanya kelihatan normal/tidak ada kelainan pada bentuknya, maka tidak mengapa menyembelihnya, demikian pula jika pada matanya ada sesuatu yang putih akan tetapi tidak menghilangkan penglihatannya maka syah menyembelihnya. Dari sini dipetik lebih tidak bolehnya menyembelih hewan yang hilang biji matanya dan tidak pula hewan yang buta. (Al-Mughni: 11/100-101)
c. Yang dimaksud dengan sakit di sini adalah penyakit yang menyebabkan dagingnya rusak atau berkurang dan menyebabkan harganya kurang dari yang semestinya. Misalnya: Perutnya membengkak karena tidak bisa buang angin dan buang air, gila, gugurnya gigi karena penyakit dan mengganggu makannya, yang terpotong/tidak ada sebagian anggota tubuhnya. (Al-Mughni: 11/101-102, Mughni Al-Muhtaj: 6/129, Al-Muhalla: 7/358, Asy-Syarhul Mumti’: 7/476, dan Al-Majmu’: 8/401-402)
d. Yang terakhir adalah hewan yang tidak memiliki sum-sum di dalam tulangnya sehingga membuat tubuhnya sangat kurus. (Al-Mughni: 11/100)
Kesimpulannya sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abdul Wahhab Al-Baghdadi dalam Al-Ma’unah (1/662), “Inti permasalahan ini adalah bahwa semua cacat yang mengakibatkan kurangnya daging atau mempengaruhinya, atau dia berupa penyakit, atau mengurangi postur fisiknya, maka cacat itu menjadi penghalang untuk menyembelihnya.”

[bersambung insya Allah]



Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1188



Read More...

28 November 2009

Prediksi Kiamat 2012, Benarkah?

At Tauhid edisi V/45

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sudah sejak dua tahun yang lalu isu kiamat ini muncul. Apalagi belakangan ini semakin mencuat karena boomingnya film yang menceritakan ramalan tersebut. Mereka yang percaya bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012, mendasarkan kepercayaan mereka pada kalender yang dibuat oleh suku Maya, yang ditemukan di reruntuhan di Meksiko. Masyarakat Maya Kuno, yang dikenal maju ilmu matematika dan astronominya, mengikuti “perhitungan panjang” kalender yang mencapai 5126 tahun. Ketika peta astronomi mereka dipindahkan ke kalender Gregorian, yang digunakan secara standar sekarang, waktu perhitungan bangsa Maya berhenti pada 21 Desember 2012. Mereka yang percaya juga mengatakan adanya hubungan lain selain antara kalender maya dan kehancuran yang akan datang. Matahari akan terhubung lurus dengan pusat Tata Surya pertama kalinya semenjak 26000 tahun yang lalu, yang menandai puncak musim dingin. Beberapa orang mengatakan hal ini akan mempengaruhi aliran energi ke bumi, atau karena adanya sunspot dan sunflare yang jumlahnya membengkak, menyebabkan adanya efek terhadap medan magnet bumi. Tukang ramal Indonesia, Mama Lauren pun sempat angkat bicara di transTV bahwa paranormal tidak bisa menembus tahun 2013 (hanya mentok di 2012). Apakah betul prediksi kiamat 2012? Apakah ada yang tahu kapan terjadinya kiamat?

Hancurnya Dunia Memang Semakin Dekat

Al Qur’an telah menjelaskan bahwa hari kiamat benar-benar akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Rabbmu.” (QS. Ar Ra’du: 2)

Tanda-tanda semakin dekatnya kiamat, sudah muncul semenjak diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara tandanya ada yang sudah terjadi. Seperti terbelahnya bulan di zaman Nabi (Lihat QS. Al Qamar: 1 dan HR. Bukhari no. 4864). Juga ada tanda yang akan bermunculan dan berulang hingga hari kiamat. Seperti keadaan banyak wanita yang berpakaian tetapi telanjang (pakaian ketat dan mengumbar aurat) (HR. Muslim no. 2128) dan munculnya beberapa orang yang mengaku sebagai Nabi (HR. Bukhari no. 3609 dan Muslim no. 157). Inilah berbagai kejadian yang menandakan semakin dekat hancurnya dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan jarak waktu umat ini dengan hari kiamat dengan sabda beliau, “Jarak antara aku diutus dengan datangnya hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini.” Beliau pun berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya (HR. Bukhari no. 6504 dan Muslim no. 2951, dari Anas bin Malik). Gambarannya, jari tengah itu adalah umur kehidupan di dunia ini hingga hari kiamat. Sedangkan jari telunjuk adalah lamanya waktu mulai dunia ini ada hingga pengutusan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun jarak pengutusan Nabi kita dengan hari kiamat adalah selisih antara jari tengah dan jari telunjuk. Bandingkanlah umur dunia ini hingga Nabi kita diutus dengan masa setelah Nabi diutus hingga hari kiamat! Jika kita bandingkan, waktu terjadinya kiamat itu sangatlah dekat dengan umat Muhammad.

Manusia mungkin merasakan kiamat itu masih sangat lama. Namun itulah pemikiran dan pandangan manusia yang dangkal. “Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya.” (QS. An Nahl: 1) “Tidak adalah kejadian kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi).” (QS. An Nahl: 77) (Lihat keterangan Dr. Sulaiman Al Asyqor dalam kitab beliau “Al Yaumul Akhir: Al Qiyamah Ash Shughro”, hal. 115-117, terbitan Daarun Nafa-is, cetakan keempat, 1411 H)

Nabi Sendiri Tidak Tahu Kapan Datangnya Kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh malaikat Jibril yang datang dalam wujud seorang Arab Badui, beliau ditanya mengenai kapan hari kiamat terjadi. Lantas beliau menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” (HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9, 10)

Sungguh sangat mengherankan yang terjadi saat ini. Sebagian orang atau tukang ramal (yang sudah pasti suka berdusta), ada yang bisa memprediksi kapan terjadinya kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mengetahui terjadinya hari kiamat, padahal beliau adalah orang yang paling dekat dengan Allah. Begitu pula malaikat Jibril selaku penyampai wahyu dari Allah juga tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Jika Nabi yang paling mulia dan malaikat yang mulia saja tidak mengetahui tanggal, bulan atau tahun terjadinya hari kiamat, sudah sepantasnya orang selain keduanya tidak mengetahui hal tersebut.

Perlu ditegaskan pula bahwa waktu terjadinya hari kiamat termasuk perkara ghoib dan menjadi kekhususan Allah yang mengetahuinya. Sehingga sungguh sangat dusta jika beberapa paranormal (yang sebenarnya tidak normal) bisa menentukan waktu tersebut, baik Mama Laurent, suku Maya di Meksiko atau pun yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al Ahzab: 63). Ayat ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa tidak satu pun makhluk yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat, tidak ada yang mengetahui waktunya selain Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui karena waktu tersebut termasuk di antara mafaatihul ghoib (kunci-kunci ilmu ghoib) yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. (Lihat QS. Luqman: 34)

Apalagi prediksi kiamat 2012 berasal dari orang kafir. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6). Jika orang fasiq (yang suka maksiat) dari kalangan kaum muslimin membawa berita, perlu kita kroscek ulang atau cari kejelesan. Lalu bagaimana lagi dengan berita orang kafir yang melakukan kefasiqan yang besar?!

Aneh, Kiamat Terjadi Tanpa Melalui Tanda

Dunia hancur begitu saja tanpa melalui tanda-tanda kiamat terlebih dahulu. Itulah yang diangkat dalam ramalan tersebut dan film yang lagi booming saat ini. Sungguh hal ini berseberangan jauh dengan aqidah yang harus diyakini seorang muslim. Seharusnya kiamat datang melalui tanda-tanda terlebih dahulu. Ada tanda kiamat shugro (kiamat kecil) yang pernah terjadi, ada tanda yang terus berulang dan ada tanda kiamat kubro (kiamat besar).

Di antara tanda kiamat kubro disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin Asid Al Ghifariy, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kami ketika berbincang-bincang. Beliau berkata, ‘Apa yang sedang kalian perbincangkan?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang berbincang-bincang tentang hari kiamat.’ Beliau berkata, ‘Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda.’ Beliau menyebutkan, ’[1] Dukhan (asap), [2] Dajjal, [3] Daabah, [4] terbitnya matahari dari barat, [5] turunnya Isa ‘alaihis salam, [6] keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, [7,8,9] terjadinya tiga gerhana yaitu di timur, barat dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah [10] keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka’.” (HR. Muslim no. 2901) Nabi ‘Isa sendiri turun kembali ke muka bumi dan beliau akan tinggal selama 40 tahun (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Nabi Isa akan membunuh Dajjal (HR. Muslim no. 2940), menghancurkan salib dan membunuh babi (HR. Bukhari no. 2222 dan Muslim no. 155). Tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits lainnya adalah datangnya Imam Mahdi dan beliau akan berkuasa selama 7 atau 8 tahun (Riwayat ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah Al Mukhtashoroh no. 711). Dari sini, mungkinkah kiamat terjadi tahun 2012 sementara tanda-tandanya saja belum muncul?!

Prediksi Kiamat Tidak Ada yang Tepat

Sudah sejak dulu banyak orang yang mengklaim terjadinya kiamat pada tanggal-tanggal tertentu. Anehnya lagi yang dipilih adalah angka-angka cantik layaknya memilih angka menarik ketika beli voucher perdana. Dulu ada yang meramalkan bahwa kiamat akan terjadi tanggal 19 September 1990 (19-9-1990) dan 9 September 1999 (9-9-1999). Namun ternyata prediksi yang ada ternyata keliru.

Beberapa ulama masa silam, memang ada yang sempat membicarakan waktu kapan terjadinya kiamat bahkan mereka memiliki kitab tersendiri yang membahas hal itu, di antaranya adalah Imam As Suyuthi. Begitu pula As Suhailiy memprediksi datangnya hari kiamat dengan menghitung-hitung huruf muqoto’ah (seperti alif laam miim dan haamiim) yang berada di awal-awal surat dalam Al Qur’an. Beliau memprediksikan bahwa kiamat akan terjadi 703 tahun setelah diutusnya Nabi (Lihat ‘Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Ainiy Al Hanafiy, 7/424, Multaqo Ahlil Hadits, Asy Syamilah). Begitu pula yang belakangan meneliti hal serupa adalah Dr. Baha’i. Beliau mengklaim bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 1710 H. Beliau melakukan perhitungan dari huruf-huruf muqotho’ah yang terdapat di awal-awal surat sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh As Suhailiy. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor pun membantah pernyataan Dr. Baha’i, “Ini adalah suatu metode yang benar-benar keliru. Orang-orang sebelum dia ada yang menggunakan metode yang sama melalui hitungan huruf-huruf muqhoto’ah. Namun hasil perhitungan orang-orang sebelum Dr. Baha’i tidaklah sama dengannya. Mereka memiliki cara perhitungan yang sama, tetapi hasil perhitungannya jauh berbeda. Inilah yang menunjukkan kelirunya cara mereka dan menunjukkan pula tidak terbuktinya penelitian mereka.” (Disarikan dari “Al Yaumul Akhir: Al Qiyamah Ash Shughro”, hal 121-126)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun memiliki bantahan terhadap orang-orang semacam Dr. Baha’i dan yang sepemikiran dengannya. Beliau mengatakan, “Siapa saja yang menyibukkan diri memprediksikan terjadinya kiamat pada tahun tertentu; di antaranya yang menulis kitab “Ad Durro Al Munazzom Fii Ma’rifati Al A’zhom” (dalam kitab tersebut disebutkan sepuluh dalil yang menunjukkan kapan terjadinya kiamat), begitu pula ada yang memprediksi dalam kitab “Huruful Mu’jam”, atau dalam kitab ‘Anqo’ Mughrib, atau orang-orang lain yang melakukan prediksi yang sama; walaupun itu dianggap suatu hal yang menakjubkan oleh pengikutnya, namun perlu diketahui bahwa mayoritas mereka adalah pendusta, yang telah tertipu, dan telah terbukti bahwa mereka hanya berbicara tanpa dasar ilmu. Sungguh mereka telah mengklaim dan mengungkap suatu yang ghoib tanpa dasar ilmu sama sekali. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“.” (QS.Al A’rof: 33) (Majmu’ Al Fatawa, 4/342)

Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor mengatakan, “Semestinya yang dilakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan para ulama umat ini dalam sejarah. Seandainya membicarakan kapan terjadinya kiamat adalah suatu kebaikan untuk manusia, tentu Allah Ta’ala akan memberitahukannya kepada mereka. Akan tetapi, Allah sendiri tidak memberitahukan hal tersebut. Maka inilah yang terbaik bagi mereka.” (Al Qiyamah Ash Shugro, hal. 122)

Masih Ada Kematian

Meskipun belum muncul beberapa tanda kiamat kubro, namun ada kematian yang pasti akan menghampiri setiap insan. Walaupun tidak menemui tanda kiamat kubro, setiap orang pasti akan merasakan kematian cepat ataupun lambat. Tidak ada seorang pun yang bisa lari dari yang namanya maut. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.” (QS. Al Jumu’ah: 8)

Kematian (maut) adalah benar adanya. “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf: 19). Sehingga pantaskah terbetik untuk menunda-nunda beriman dan beramal sholih. Sungguh, hanya orang yang hatinya tertutup dengan kelamnya maksiat yang tidak mau memperhatikan hal ini. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37). Hanya Allah yang memberi taufik.
[Muhammad Abduh Tuasikal]

Sumber: Buletin At-Tauhid

Read More...

18 November 2009

Keutamaan Amal Shaleh Pada Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijjah

Oleh Ustadz Abdullah Taslim

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.

“Tidak ada hari-hari yang pada waktu itu amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah).” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya, “Wahai Rasulullah, juga (melebihi keutamaan) jihad di jalan Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Ya, melebihi) jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang keluar (berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun.”[1]


Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan beramal shaleh pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin[2] mencantumkan hadits ini pada bab: Keutamaan ibadah puasa dan (ibadah-ibadah) lainnya pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

1. Allah melebihkan keutamaan zaman/waktu tertentu di atas zaman/waktu lainnya, dan Dia mensyariatkan padanya ibadah dan amal shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya[3].
2. Karena besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, Allah Ta’ala sampai bersumpah dengannya dalam firman-Nya: وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Dan demi malam yang sepuluh.” (Qs. al-Fajr: 2). Yaitu: sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, menurut pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Rajab[4], [serta menjadi pendapat mayoritas ulama].
3. Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Tampaknya sebab yang menjadikan istimewanya sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah adalah karena padanya terkumpul ibadah-ibadah induk (besar), yaitu: shalat, puasa, sedekah dan haji, yang (semua) ini tidak terdapat pada hari-hari yang lain.”[5]
4. Amal shaleh dalam hadits ini bersifat umum, termasuk shalat, sedekah, puasa, berzikir, membaca al-Qur’an, berbuat baik kepada orang tua dan sebagainya.[6]
5. Termasuk amal shaleh yang paling dianjurkan pada waktu ini adalah berpuasa pada hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah)[7], bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji[8], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa pada hari ‘arafah, beliau bersabda, أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ “Aku berharap kepada Allah puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu dan tahun berikutnya.”[9]
6. Khusus untuk puasa, ada larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya pada tanggal 10 Dzulhijjah[10], maka ini termasuk pengecualian.
7. Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa berjihad di jalan Allah Ta’ala adalah termasuk amal yang paling utama[11].

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR al-Bukhari (no. 926), Abu Dawud (no. 2438), at-Tirmidzi (no. 757) dan Ibnu Majah (no. 1727), dan ini lafazh Abu Dawud.

[2] 2/382- Bahjatun Naazhirin.

[3] Lihat keterangan Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Latha-iful Ma’aarif (hal. 19-20).

[4] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/651) dan Latha-iful Ma’aarif (hal. 20).

[5] Fathul Baari (2/460).

[6] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/411).

[7] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam as-Syarhul Mumti’ (3/102).

[8] Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa pada hari itu ketika melakukan ibadah haji, sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1887) dan Muslim (no. 123). Lihat kitab Zaadul Ma’ad (2/73).

[9] HSR Muslim (no. 1162).

[10] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1889) dan Muslim (no. 1137).

[11] Lihat Syarhu Riyadhis Shalihin (3/411).


Sumber: salafiyunpad.wordpress.com

Read More...

Download Audio: Keutamaan 10 Hari Pertama Dzulhijjah dan Hukum Qurban (Ust. Aris Abu Sulaiman) [NEW]

Alhamdulillah, saudaraku -semoga dirahmati Allah-

silakan download rekaman kajian bersama Al Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiantoro hafizhahullah (Murid Syaikh Utsaimin dan Mudir Ma’had Al ukhuwah) di Masjid Syaikh Utsaimin di Ma’had Al ukhuwah, Sukoharjo pada tanggal 15 november 2009. kajian ini mengambil tema Keutamaan 10 Hari Dzulhijjah dan Hukum Qurban. Semoga kajian ini bermanfaat dan dapat menambah ilmu kita.
Download disini
salafiyunpad.wordpress.com


Read More...

Kemuliaan Qana’ah

Oleh Ummu ‘Athiyah

Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan kematian dan kehidupan ini, untuk menguji siapa diantara hambanya yang terbaik amalnya, hal ini telah Allah sebutkan dalam kitabnya yang agung dalam surat Al Mulk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ َوالْحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ أيُّكُمْ أحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Adapun makna ayat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Katsier dalam tafsirnya bahwa “Allah telah menciptakan seluruh makhluk ini dari ketiadaan, untuk menguji jin dan manusia, siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.” Kalau demikian apakah kita akan terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan lupa memperbaiki amal-amal kita?

Dalam Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah membawakan sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, riwayat Al-Miswar bin Syaddad tentang perumpamaan dunia dan akhirat. Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِيْ اْلاَخِرَةِ إلاَّ كَمِثْْلِ مَا يَجْعَلُ أحَدُكُمْ إصْبَعَهُ فِيْ الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Dunia ini dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Peringatan tentang hakekat dunia juga disebutkan oleh Abul-Ala’, dia berkata: “Aku pernah bermimpi melihat seorang wanita tua renta yang badannya ditempeli dengan berbagai macam perhiasan. Sementara orang-orang berkerumun di sekelilingnya dalam keadaan terpesona, memandang ke arahnya, Aku bertanya, “Siapa engkau ini?” Wanita tua itu menjawab, “Apakah engkau tidak mengenalku?” “Tidak,” jawabku “Aku adalah dunia,” jawabnya. “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu,” kataku. Dia berkata, “Kalau memang engkau ingin terlindung dari kejahatanku, maka bencilah dirham (uang).”

Sesungguhnya Allah telah menjadikan bumi ini sebagai tempat tinggal bagi kita selaku hamba Allah. Dan apa yang ada diatas bumi ini seperti pakaian, makanan, minuman, pernikahan dan lain-lain merupakan santapan bagi kendaraan badan kita yang sedang berjalan kepada Allah. Barangiapa di antara manusia yang memanfaatkan semua itu menurut kemaslahatannya dan sesuai dengan yang diperintahkan Allah maka itu adalah perbuatan yang terpuji. Dan barangsiapa yang memanfaatkannya melebihi apa yang dia butuhkan karena tuntutan kerakusan dan ketamakan maka dia pantas untuk dicela.

Wahai hamba Allah, setelah kita mengetahui hakekat dunia dan bagaimana seharusnya kita bersikap dengan dunia ini, akankah kita tetap akan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan kita jadikan harta tersebut sebagai tujuan hidup kita???

Suri tauladan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus bersikap terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan sikap qana’ah (kepuasan dan kerelaan). Sikap qana’ah ini seharusnya dimiliki oleh orang yang kaya maupuan orang yang miskin adapun wujud qana’ah yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan semua cara, sehingga dengan semua itu akan melahirkan rasa puas dengan apa yang sekedar dibutuhkan. Tentang sikap qana’ah, Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan hadits dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قَدْ أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy)

Ketahuilah wahai saudariku sesungguhnya di dalam qana’ah itu ada kemuliaan dan ketentraman hati karena sudah merasa tercukupi, ada kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang syubhat dan yang melebihi kebutuhan pokoknya, yang semua itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Dan sesungguhnya dalam kerakusan dan ketamakan itu ada kehinaan dan kesusahan karena dia tidak pernah merasa puas dan cukup terhadap pemberian Allah.

Perbuatan qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap makanan yang ada, meskipun sedikit laku pauknya, dan cukup dengan beberapa lembar pakaian untuk menutup aurat kita. Maka hendaklah dalam masalah keduniaan kita melihat orang yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang di atas kita. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam hadits yang artinya: “Lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Diriwayatkan Muslim dan At-Tirmidzy)

Sikap qana’ah ini hendaklah kita lakukan dalam setiap kondisi, baik ketika kita kehilangan harta maupun ketika mendapatkan harta. Barangsiapa yang mendapatkan harta maka haruslah diikuti dengan sikap murah hati, dermawan, menafkahkan kepada orang lain dan berbuat kebajikan. Marilah kita tengok kedermawanan dan kemurahan hati Rasulullah: Telah diriwayatkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau adalah orang yang lebih cepat untuk berbuat baik daripada angin yang berhembus. Selagi beliau diminta sesuatu, maka sekali pun tidak pernah beliau menjawab. “Tidak” Suatu ketika ada seseorang meminta kepada beliau. Maka beliau memberinya sekumpulan domba yang digembala di antara dua bukit. Lalu orang itu menemui kaumnya dan berkata kepada mereka: “Wahai semua kaumku, masuklah Islam! Karena Muhammad memberikan hadiah tanpa merasa takut miskin.”

Subhanallah sungguh indah pahala yang Allah janjikan terhadap hambaNya yang memiliki sikap qana’ah, marilah kita senantiasa memohon kepada Allah agar kita di anugrahi sikap qana’ah dan dijauhkan dari sikap kikir dan bakhil.

اَللَّهُمَّ إنِّي أعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَ الْحَزَنِ،وَ الْعَجْزِ وَ الْكَسَلِ،وَالْبُخْلِ وَ الْجُبْنِ،وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَ غَلبَةِالرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari (bahaya) rasa gundah gulana dan kesedihan, (rasa) lemah dan malas, (rasa) bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penguasaan orang lain.”

اللّهمّ قنّعني بما رزقتني و با رك لي فيه ، و ا خلف على كلّ غا ئبة لي بخير

“Ya Allah, jadikanlah aku merasa qona’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, dan berikanlah berkah kepadaku di dalamnya, dan jadikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan lebih baik.”

Referensi:

1. Hisnul Muslim min Udzkuril Kitaabi wa Sunnati oleh Sa’id Bin Wahf Al-Qahthani
2. Terjemah Minhajul Qashidin; “Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk”
3. Terjemah Tafsir Ibnu Katsier terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i
4. Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah- Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawwas

Diringkas oleh: Ummu ‘Athiyah
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Abu Salman

***

disalin dari artikel www.muslimah.or.id dan dipublikasikan kembali oleh www.salafiyunpad.wordpress.com


Read More...

Meraih Limpahan Pahala di Awal Dzulhijah

At Tauhid edisi V/44

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberikan kita berbagai macam nikmat, kita pun diberi anugerah akan berjumpa dengan bulan Dzulhijah. Berikut kami akan menjelasakan keutamaan beramal di awal bulan Dzulhijah dan apa saja amalan yang dianjurkan ketika itu. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah

Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” [1]

Di dalam sepuluh hari bulan Dzulhijah terdapat hari Arofah dan hari an nahr (Idul Adha). Kedua hari tersebut adalah hari yang mulia sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin Qurth, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari an nahr (Idul Adha) kemudian yaumul qorr (hari setelah hari an nahr).” [2]

Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits Ibnu ‘Abbas di atas menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika dikatakan bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, itu menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di sisi-Nya.” [3]

Bahkan jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah.” Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan jiwa raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang mulia dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah tidak kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan mafdhul (yang kurang utama) dibanding jihad. [4]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul (yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan dilipatgandakan.” [5] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.” [6]

Amalan di Awal Dzulhijah

Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu [7]. Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa. Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya [8], …” [9]

Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.” [10] Mengenai riwayat ini, Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah, yaitu hadits pertama. Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya. [11]

Kesimpulan: Boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya.

Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied. [12]

Keutamaan Hari Arofah

Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut, “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” [13]

Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.” [14] Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. [15] Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a ketika ini adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.

Jangan Tinggalkan Puasa Arofah

Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” [16] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. [17] Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat. [18]

Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” [19]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan, “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.” [20]

Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama. [21]

Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)

Ada riwayat yang menyebutkan, “Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.” Ibnul Jauzi [22], Asy Syaukani [23], dan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah). [24]

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.

Jika Tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia Berbeda dengan Indonesia

Jika wukuf di Arofah lebih dulu dari tanggal 9 Dzulhijah di Indonesia, manakah yang harus diikuti dalam berpuasa Arofah?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Dalam puasa hari Arofah, engkau tetap mengikuti negerimu.” Alasan beliau adalah kita tetap mengikuti hilal di negeri ini bukan mengikuti hilal Saudi Arabia. Jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara kita selang satu hari setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara kita, maka kita seharusnya kita berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah. Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya. [Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim
[2] HR. Abu Daud no. 1765. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456
[4] Lihat Latho-iLatho-if Al Ma’ariff Al Ma’arif, hal. 457 dan 461
[5] Idem
[6] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458
[7] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad
[8] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi
[9] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[10] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460
[12] Lihat Fathul Bari, 3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460
[13 HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah
[14] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[15] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam
[16] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah
[17] Lihat Fathul Bari, 6/286
[18] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam
[19] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[20] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih
[21] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah
[22] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[23] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[24] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956
[25] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/25, Asy Syamilah

Sumber: Buletin At-Tauhid


Read More...

Biografi Syaikh Ahmad An-Najmi, Mufti Daerah Jizaan

Ditulis oleh: As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali

Kedudukan ulama rabbani sangatlah tinggi dalam Dien yang mulia ini. Allah Ta’ala telah mengangkat derajat mereka dan memuji mereka dalam Tanzil-Nya. Demikian pula pujian datang lewat lisan Rasul-Nya dalam mutiara-mutiara hikmah yang beliau tuturkan. Dan tidak ada yang tahu kadar ulama dan memuliakannya sesuai dengan apa yang berhak mereka dapatkan kecuali orang-orang yang mulia. Karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang ingin mendapatkan kemuliaan untuk mengagungkan mereka lewat lisan dan tulisan, tidak melanggar kehormatan mereka dan tidak merendahkan mereka.

Telah datang ayat-ayat Qur`an, hadits-hadits nabawiyah dan atsar-atsar pilihan yang berisi larangan dari perbuatan tersebut. Satu dari ulama rabbani yang memiliki hak untuk kita muliakan adalah As-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, seorang alim yang sekarang menjadi mufti di daerah Jizaan. Salah seorang murid beliau, As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali menuturkan secara ringkas cerita hidup beliau sebagaimana dinukilkan dalam Ibrah kali ini. Semoga semangat ilmiah dan amaliyah beliau dapat menjadi ibrah bagi kita.

NAMA DAN NASAB BELIAU

Beliau adalah Asy-Syaikh Al-Fadlil Al-Allamah, Al-Muhaddits, Al-Musnad, Al-Faqih, mufti daerah Jizaan, pembawa bendera sunnah dan hadits di sana. As-Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad bin Syabir An-Najmi dari keluarga Syabir dari Bani Hummad, salah satu kabilah yang terkenal di daerah Jizaan.

Terlahir di Najamiyah pada tanggal 26 Syawwal 1346 hijriyah, beliau tumbuh dalam asuhan dua orang tua yang shalih. Keduanya bahkan bernadzar untuk Allah dalam urusan putranya ini, yaitu mereka berdua tidak akan membebani Ahmad An-Najmi kecil dengan satu pun dari pekerjaan dunia. Dan sungguh Allah telah merealisasikan apa yang diinginkan pasangan hamba-Nya ini.

Ayah dan ibu yang shalih ini menjaga beliau dengan sebaik-baiknya, sampai-sampai keduanya tidak meninggalkan beliau bermain bersama anak-anak yang lain. Ketika mencapai usia tamyiz, ayah dan ibu yang mulia ini memasukkan beliau ke tempat belajar yang ada di kampungnya. Di sini beliau belajar membaca dan menulis. Demikian pula membaca Al-Qur`an, beliau pelajari di sini sampai tiga kali sebelum kedatangan As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii rahimahullah pada tahun 1358 hijriyah.

Pertama kali beliau membaca Al-Qur`an di bawah bimbingan As-Syaikh Abduh bin Muhammad Aqil An-Najmi tahun 1355 hijriyah. Kemudian beliau membacanya di hadapan As-Syaikh Yahya Faqih Absi -seorang yang berpemahaman Asy’ari- yang semula merupakan penduduk Yaman lalu datang dan bermukim di Najamiyah. Tahun 1358, As-Syaikh Ahmad An-Najmi masih belajar pada orang ini. Ketika datang As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii terjadi perdebatan antara keduanya (antara As-Syaikh Yahya Faqih Absi dan As-Syaikh Al-Qar’aawii) dalam masalah istiwa. Dan Allah Ta’ala berkehendak untuk memenangkan Al-Haq hingga As-Syaikh Yahya yang Asy’ari ini kalah dan pada akhirnya meninggalkan Najamiyah.

SEKITAR KISAH BELIAU DALAM BELAJAR ILMU

Pada tahun 1359, setelah perginya guru beliau yang berpemahaman Asy’ari, As-Syaikh Ahmad An-Najmi bersama kedua paman beliau, As-Syaikh Hasan dan As-Syaikh Husein bin Muhammad An-Najmi sering menjumpai As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawi di kota Shaamithah. Kemudian pada tahun berikutnya beliau masuk ke Madrasah As-Salafiyah. Dan pada kali ini beliau membaca Al-Qur`an dengan perintah As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii rahimahullah di hadapan As-Syaikh Utsman bin Utsman Hamli rahimahullah. Beliau menghafal Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafid, Ats-Tsalatsatul Ushul, Al-Arba’in An-Nawawiyah dan Al-Hisab. Beliau juga memantapkan pelajaran khath.

Di Madrasah As-Salafiyah, As-Syaikh Ahmad An-Najmi yang masih belia ini duduk di majlis yang ditetapkan oleh As-Syaikh Al-Qar’aawii sampai murid-murid kecil pulang ke rumah masing-masing setelah shalat dhuhur. Namun As-Syaikh Ahmad An-Najmi tidak ikut pulang bersama mereka. Beliau malah ikut masuk ke halaqah yang diperuntukkan bagi orang dewasa / murid-murid senior yang diajari langsung oleh As-Syaikh Al-Qar’aawii. Beliau duduk bersama mereka dari mulai selesai shalat dhuhur sampai datang waktu Isya. Setelah itu baru beliau kembali bersama kedua paman beliau ke kediamannya.

Hal demikian berlangsung sampai empat bulan hingga akhirnya As-Syaikh Al-Qar’aawii mengijinkan beliau untuk bergabung dengan halaqah kibaar ini. Di hadapan As-Syaikh Al-Qar’aawii beliau membaca kitab Ar-Rahabiyah dalam ilmu Fara’id, Al-Aajurumiyah dalam ilmu Nahwu, Kitabut Tauhid, Bulughul Maram, Al-Baiquniyah, Nukhbatul Fikr dan syarahnya Nuzhatun Nadhar, Mukhtasharaat fis Sirah, Tashriful Ghazii, Al-’Awaamil fin Nahwi Mi’ah, Al-Waraqaat dalam Ushul Fiqih, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah dengan syarah / penjelasan dari As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii sebelum mereka diajarkan Syarah Ibnu Abil ‘Izzi terhadap Aqidah Thahawiyah ini. Beliau juga mempelajari beberapa hal dari kitab Al-Alfiyah karya Ibnu Malik, Ad-Durarul Bahiyah dengan syarahnya Ad-Daraaril Mudliyah dalam fiqih karya Al-Imam Syaukani rahimahullah. Dan masih banyak lagi kitab lainnya yang beliau pelajari, baik kitab tersebut dipelajari secara kontinyu -sebagaimana kitab-kitab yang disebutkan di atas- maupun kitab-kitab yang digunakan sebagai perluasan wawasan dari beberapa risalah-risalah dan kitab-kitab kecil dan kitab-kitab yang dijadikan rujukan ketika diadakan pembahasan ilmiyah seperti Nailul Authar, Zaadul Ma’aad, Nurul Yaqin, Al-Muwatha’ dan kitab-kitab induk (Al-Ummahat).

Pada tahun 1362 hijriyah, As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii mengajarkan di halaqah kibar ini kitab-kitab induk yang ada di perpustakaan beliau seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Nasa’i dan Muwaththa’ Imam Malik. Mereka yang membacakan kitab-kitab tersebut di hadapan beliau. Namun mereka tidak sampai menyelesaikan kitab-kitab tersebut karena mereka harus berpisah satu dengan lainnya disebabkan paceklik yang menimpa.

Dan dengan keutamaan dari Allah, pada tahun 1364 mereka dapat kembali ke tempat belajar mereka dan melanjutkan apa yang semula mereka tinggalkan. As-Syaikh Abdullah kemudian memberi izin kepada As-Syaikh Ahmad An-Najmi untuk meriwayatkan kitab induk yang enam (Al-Ummahat As-Sitt).

Waktu berjalan hingga sampai pada tahun 1369. Beliau berkesempatan untuk belajar kitab Ishlahul Mujtama’ dan kitab Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam karya As-Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah dalam masalah fiqih yang disusun dalam bentuk tanya jawab. Dua kitab ini beliau pelajari dari As-Syaikh Ibrahim bin Muhammad Al-’Amuudi rahimahullah seorang qadli daerah Shaamith pada waktu itu. Beliau berkesempatan pula untuk belajar Nahwu pada As-Syaikh Ali bin Syaikh Utsman Ziyaad Ash-Shomaalii dengan perintah As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii rahimahullah dengan membahas kitab Al-’Awwamil fin Nahwi Mi’ah dan kitab-kitab lainnya.

Tahun 1384, beliau hadir dalam halaqah Syaikh Al-Imam Al-’Allamah Mufti negeri Saudi Arabia As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh rahimahullah selama hampir dua bulan untuk mempelajari tafsir dalam hal ini Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan pembaca kitab Abdul Aziz Asy-Syalhuub. Pada tahun yang sama beliau juga hadir dalam halaqah Syaikh Al-Imam Al-’Allamah As-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah selama kurang lebih satu setengah bulan guna mempelajari Shahih Bukhari. Majelis yang terakhir ini diadakan antara waktu Maghrib dan Isya’.

GURU-GURU BELIAU

Syaikh Ahmad An-Najmi memiliki beberapa orang guru sebagaimana bisa dibaca pada keterangan di atas. Guru-guru beliau adalah:

1) As-Syaikh Ibrahim bin Muhammad Al-’Amuudi, seorang qadli di daerah Shaamithah pada zamannya.

2) As-Syaikh Hafidh bin Ahmad Al-Hakami

3) As-Syaikh Al-Allamah Ad-Da’iyah Al-Mujaddid di daerah selatan kerajaan Saudi Arabia Abdullah Al-Qar’aawii, beliau adalah guru yang paling banyak memberikan faedah kepada As-Syaikh Ahmad An-Najmi.

4) As-Syaikh Abduh bin Muhammad Aqil An-Najmi

5) As-Syaikh Utsman bin Utsman Hamli

6) As-Syaikh Ali bin Syaikh Utsman Ziyaad Ash-Shomaali

7) As-Syaikh Al-Imam Al-Allamah Mufti negeri Saudi Arabia yang dahulu, Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh.

8) As-Syaikh Yahya Faqih Absi Al-Yamani

MURID-MURID BELIAU

As-Syaikh Ahmad An-Najmi hafidhahullah memiliki murid yang sangat banyak, seandainya ada yang mencoba menghitungnya niscaya ia membutuhkan ribuan lembaran kertas. Namun di sini cukup disebutkan tiga orang saja yang ketiganya masyhur dalam bidang keilmuan. Mereka adalah:

1) As-Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits penolong Sunnah, As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali.

2) As-Syaikh Al-Allamah Al-Faqih Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhali.

3) As-Syaikh Al-Alim Al-Fadlil Ali bin Nashir Al-Faqiihi.

KECERDASAN BELIAU

Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau kecerdasan yang tinggi sekali. Berikut ini kisah yang menunjukkan kecerdasan dan kemampuan menghafal beliau sejak kecil -semoga Allah menjaga beliau-:

Berkata As-Syaikh Umar bin Ahmad Jaradii Al-Madkhali -semoga Allah memberi taufik kepada beliau-: “Tatkala As-Syaikh Ahmad An-Najmi hadir bersama kedua pamannya Hasan dan Husein An-Najmi di Madrasah As-Salafiyah di Shaamithah, tahun 1359 hijriyah, umur beliau saat itu 13 tahun namun beliau mampu mendengarkan dan memahami pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii kepada murid-murid seniornya. Dan beliau benar-benar menghafal pelajaran-pelajaran tersebut.”

Aku katakan (yakni As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali): “Inilah yang menyebabkan As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii menggabungkannya pada halaqah kibaar yang beliau tangani sendiri pengajarannya. Beliau melihat bagaimana kepandaiannya, kecepatan hafalannya dan kecerdasannya.”

KESIBUKAN BELIAU DALAM MENYEBARKAN ILMU

As-Syaikh Ahmad An-Najmi menyibukkan dirinya dengan mengajar di madrasah-madrasah milik gurunya As-Syaikh Al-Qar’aawii rahimahullah semata-mata karena mengaharapkan pahala. Pada tahun 1367 hijriyah beliau mengajar di kampungnya An-Najamiyah. Lima tahun kemudian (tahun 1372) beliau pindah ke tempat yang bernama Abu Sabilah di Hurrats. Di sana beliau menjadi imam dan guru. Pada tahun berikutnya ketika dibuka Ma’had Ilmi di Shaamithah, beliau menjadi guru di sana sampai tahun 1384 hijriyah. Saat itu beliau memutuskan untuk safar ke Madinah guna mengajar di Jami’ah Al-Islamiyah di sana, namun ternyata beliau mendapat tugas yang lain sehingga beliau harus kembali ke daerah Jaazaan. Di sini Allah menghendaki agar beliau menjadi seorang penasehat dan pemberi bimbingan, dan beliau menjalankan tugas beliau dengan sebaik-baiknya.

Tahun 1387, beliau mengajar di Ma’had Ilmi di kota Jazaan sesuai dengan permintaan beliau. Pada awal pengajaran tahun 1389 beliau kembali mengajar di Ma’had Shaamithah dan beliau tinggal di sana sebagai guru hingga tahun 1410.

Sejak saat itu sampai ditulisnya biografi ini, beliau menyibukkan diri dengan mengajar di rumahnya dan di masjid yang berdekatan dengan rumah beliau serta di masjid-masjid lain dengan tetap menjalankan tugas beliau sebagai mufti.

Beliau -hafidhahullah- dengan semua aktifitas ilmiahnya telah menjalankan wasiat gurunya untuk terus mengajar dan menjaga / memperhatikan para pelajar, khususnya pelajar asing dan mereka yang terputus bekal / nafkahnya dalam penuntutan ilmu. Dan kita dapatkan beliau -semoga Allah menjaganya- memiliki kesabaran yang menakjubkan. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan atas apa yang telah dia berikan kepada kita.

Dengan wasiat As-Syaikh Al-Qar’aawii juga, beliau terus melakukan pembahasan ilmiyah dan mengambil faedah, khususnya dalam ilmu hadits dan fiqih serta ushul ilmu hadits dan ushul fiqih, hingga beliau mencapai keutamaan dengannya melebihi teman-temannya. Semoga Allah memberkahi umur beliau dan ilmu beliau, dan semoga Allah memberi manfaat dengan kesungguhan beliau.

KARYA ILMIAH BELIAU

Beliau banyak memiliki karya-karya tulis ilmiah, sebagiannya sudah dicetak dan sebagian lagi belum dicetak. Semoga Allah memudahkan dicetaknya seluruh karya beliau agar kemanfaatannya tersampaikan pada ummat. Di antara karya beliau:

1) Awdlahul Irsyad fir Rad ‘ala Man Abaahal Mamnuu’ minaz Ziyaarah

2) Ta’sisul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam, telah dicetak dari karya ini satu juz yang kecil / tipis sekali.

3) Tanzihusy Syari’ah ‘an Ibaahatil Aghaanil Khali’ah.

4) Risalatul Irsyaad ila Bayanil Haq fi Hukmil Jihaad.

5) Risalah fi Hukmil Jahri bil Basmalah

6) Fathur Rabbil Waduud fil Fatawa war Ruduud.

7) Al-Mawridul ‘Udzbuz Zalaal fiimaa Intaqada ‘ala Ba’dlil Manaahijid Da’wiyah minal ‘Aqaaid wal A’maal.

Dan masih banyak lagi dari tulisan-tulisan beliau yang bermanfaat yang beliau persembahkan untuk kaum muslimin, semoga Allah membalas beliau dengan sebaik-baik pahala dan semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan muslimin.

Demikian akhir biografi beliau yang dapat kami haturkan pada para pembaca, walhamdulillah ***

(Diterjemahkan secara ringkas oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari dari mukaddimah kitab Al-Mawridul ‘Udzbuz Zalaal fiimaa Intaqada ‘ala Ba’dlil Manaahijid Da’wiyah minal ‘Aqaaid wal A’maal, hal 3-10).

Sumber: http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=42


Read More...

Biografi Shiddiq Hasan Khan – Ulama dari Negeri India

Nasabnya
Beliau adalah Al-Imam Al-’Allamah Al-Ushuli Al-Muhaddits Al-Mufassir As-Sayyid Shiddiq bin Hasan bin Ali bin Luthfullah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinnauji. Nasab beliau berakhir pada Al-Imam Husain, cucu terkecil dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Kelahiran dan Pertumbuhannya
Beliau lahir pada bulan Jumadil Ula tahun 1248 H (sekitar 1832) di Negeri Berlhi tanah air kakeknya yang terdekat dari pihak ibu. Kemudian keluarga beliau pindah ke kota Qinnauj, tanah air kakek-kakeknya. Ketika tahun keenam ayahnya wafat. Tinggallah ia di bawah asuhan ibunya dalam keadaan yatim. Shiddiq kecil tumbuh sebagai seorang yang afif (memelihara diri), bersih dan cinta kepada ilmu dan para ulama.

Ilmu Beliau dan Belajarnya
Beliau safar ke Delhi untuk menyempurnakan pelajarannya di sana. Beliau bersungguh-sungguh mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membukukan ilmu keduanya. Beliau memiliki keinginan yang kuat untuk mengumpulkan buku-buku, mendapatkan pemahaman tambahan dalam membacanya serta meraih faedah-faedahnya, khususnya kitab-kitab tafsir, hadits dan ushul. Kemudian beliau safar ke Bahubal untuk mencari biaya penyambung hidup beliau. Di sana beliau mendapatkan faedah besar, yaitu menikah dengan Ratu Bahubal dan beliau digelari dengan Nawwab Jaah Amirul Malik bi Hadar.

Guru-guru Beliau
Guru beliau cukup banyak, di antaranya Syaikh Muhamad Ya’qub, saudara Syaikh Muhammad Ishaq cucu Syaikh Al-Muhaddits Abdul Aziz Ad-Dahlawi. Di antara guru beliau juga Syaikh Al-Qadhi Husain bin Al-Muhsin As-Sa’bi Al-Anshari Al-Yamani Al-Hadidi, murid dari Asy-Syarif Al-Imam Muhammad bin Nashir Al-Hazimi murid dari Imam Asy-Syaukani. Guru beliau juga adalah Syaikh Abdul haq bin Fadhl Al-Hindi, murid dari Al-Imam Asy-Syaukani juga, dan masih banyak lagi.

Karangan-karangan Beliau
Dalam mengarang, beliau memiliki kemampuan yang menakjubkan, yaitu dapat menulis beberapa kitab dalam satu hari dan mengarang beberapa kitab tebal dalam beberapa hari. Karangan-karangan beliau dalam beberapa bahasa hingga 222 buah. Demikian yang dihimpun oleh Syaikh Abdul Hakim Syafaruddin, pentashih dan penta’liq kitab At-Taajul Mukallal. Beliau berkata, “Di antaranya 54 berbahasa Arab, 42 berbahasa Persia, dan 107 dengan bahasa Urdu”. Dan beliau belumlah menghitung jumlah yang sebenarnya.

Kitab-kitab beliau memenuhi dan mencapai segala penjuru dunia islam. Banyak para ulama tafsir dan hadits yang menulis risalah tentang beliau yang berisi pujian kepada kitab-kitabnya dan mendoakan kebaikan kepada beliau. Beliau juga dianggap sebagai tokoh kebangkitan Islam dan mujaddid. Di antara karangan beliau yang tercetak dengan bahasa Arab:
• Fathu Bayaan fi Maqashisil Qur’an
• Nailul Maran min Tafsiiri Aayatil Ahkam
• Ad-Dinul Khalish
• Husnul Uswah bimaa Tsabata ‘anilhiwa Rasuulihi fin Niswah
• ‘Aunul Bari bi Halli Adillatil Bukhari
• As-Sirajul Wahhaj min Kasyfi Mathaalihi Shahihi Muslim bin Al-Hajjaj
• Al-Hittah fi Dzikrish Shihabis Sittah
• Quthfus tsamar fii Aqidatil Atsar
• Al-Ilmu Khaffaq fil Ilmil Itsiqaq
• Abjadul Ulum
Dan masih banyak lagi.

Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 1307 H, bertepatan dengan 1889 M. Maka masa kehidupan beliau adalah 59 tahun qamariyah atau 57 tahun syamsiah. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas.

Referensi:
Indahnya Surga Dahsyatnya Neraka, karya Asy-Syaikh Ali Hasan, terbitan Pustaka Al-Haura’ Jogjakarta, halaman 81-84

)*Catatan:
Di atas beliau digelari dengan Al-’Allamah Al-Ushuli Al-Muhaddits Al-Mufassir As-Sayyid. Artinya adalah sebagai berikut:
• Al-’Allamah : Orang yang banyak sekali ilmunya
• Al-Ushuli: Ahli ilmu ushul (ilmu-ilmu dasar dalam agama)
• Al-Muhaddits: Ahli dalam ilmu hadits
• Al-Mufassir: Ahli tafsir
• Adapun As-Sayyid, saya belum mendapatkan maksudnya apa. Mungkin beliau digelari dengan As-Sayyid karena beliau masih keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, wallahu a’lam.

Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com


Read More...

Biografi Asy Syaikh Abdullah Al Ghudayyan

Beliau dilahirkan pada tahun 1345 H/ 1934 di kota Az Zulfi.

Beliau belajar dan qiraah dan menulis ketika masih muda bersama Abdullah bin Abdul Aziz As Suhaimi, Abdullah bin Abdurrahman Al Ghayts, dan Falih Ar Rumi. Beliau juga belajar ushul fiqh, tauhid, nahwu, dan ilmu waris dari Hamdan bin Ahmad Al Batil. Beliau kemudian berangkat ke Riyadh pada tahun 1363 H/ 1852 M, dan di tahun 1366 H/ 1955 M beliau belajar di Madrasah As Sa’udiyyah Al Ibtidaiyah (dulu dikenal sebagai Madrasah Al Aytam) dan tamat pada tahun 1368 H/ 1957 M.

Beliau lalu ditunjuk sebagai pengajar di Madrasah Al Aziziyah, dan di tahun 1371 H / 1960 M beliau masuk ke institut pendidikan. Pada waktu itu beliau belajar dari Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (mufti ‘am Kerajaan Saudi Arabia pada masa itu –wr1). Beliau juga belajar fiqh dari Syaikh Sa’ud bin Rasyud yang merupakan hakim tinggi Riyadh, tauhid dari Syaikh Ibrahim bin Sulaiman, serta nahwu dan ilmu waris dari Asy Syaikh Abdul Latif bin Ibrahim. Kemudian beliau pun melanjutkan studi beliau sampai lulus dari fakultas syariah di tahun 1372 H. 1961 M.

Asy Syaikh Abdullah Al Ghudayyan lalu ditunjuk sebagai salah seorang kepala pengadilan yang kemudian dipindahkan untuk mengajar di Institut Pendidikan pada tahun 1378 H/ 1967 M. Pada tahun 1380 H/ 1969 M, beliau ditunjuk sebagai pengajar di fakultas syariah, dan di tahun 1386 H/ 1975 M beliau dipindahkan lagi ke bagian fatwa di Darul Ifta.

Di tahun 1391 H/ 1980, beliau ditunjuk sebagai anggota Al Lajnah Ad Daimah, sebuah dewan tetap untuk penelitian masalah keislaman dan fatwa, dan juga ditunjuk pula sebagai anggota Kibaarul Ulama, Dewan Tinggi Ulama.

Beliau belajar kepada para ulama dari berbagai bidang. Guru-guru beliau yang kita kenal bersama antara lain:
• Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dari beliau Asy Syaikh belajar fiqh.
• Asy Syaikh Abdullah Al Khulayfi, Asy Syaikh juga belajar fiqh darinya.
• Asy Syaikh Abdul Aziz bin Rasyid, Asy Syaikh belajar fiqh, tauhid, dan ilmu waris dari beliau.
• As Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, Asy Syaikh belajar ushul fiqh, ilmu Al Qur’an dan Tafsir.
• Asy Syaikh Abdurrahman Al Afriqi, beliau belajar mustalah dan hadits.
• Asy Syaikh Abdurrazzaq Afifi.
• Asy Syaikh Abdul Fattah Qari Al Bukhari, Asy Syaikh belajar qira’ah Hafs an Aasim dengan sanad yang sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebagai tambahan tugas beliau, mulai tahun 1389 H/ 1978 M sampai sekarang, Syaikh Abdullah Al Ghudayyan juga mengajar fiqh, ushul fiqh, kaidah fiqh, musthalah hadits, tafsir dan ilmu tafsir serta akidah.

Beliau juga mengajarkan fiqh dalam muhadharah dan dars hampir setiap hari, sesuai dengan jadwal dan padanya tugas beliau, setelah maghrib dan setelah isya. Sesekali beliau mengajar setelah shalat subuh dan setelah ashr.

Di tahun 1395 H/ 1984 M, sebagai tugas tambahan beliau di Al Lajnah Ad Daimah, Syaikh Abdullah mengajar para mahasiswa Universitas Imam Muhammad dan di fakultas Syariah dalam mata kuliah fiqh, ushul fiqh, serta kaidah fiqh. Beliau juga terlibat langsung dalam supervisi tesis untuk program master dan doktoral di universitas tersebut, beliau juga ambil bagian dalam komite universitas untuk pendiskusian thesis. Selama masa ini, banyak mahasiswa yang belajar dari beliau.

Setelah Asy Syaikh Abdullah bin Humaid meninggal pada tahun 1402 H/ 1991 M, Asy Syaikh Abdullah Al Ghudayyan menggantikan beliau dalam memberi fatwa di program Radio Nur ‘alad Darb.

(Diterjemahkan untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari http://fatwa-online.com/scholarsbiographies/15thcentury/ibnghudayyaan.htm)


Read More...

Biografi Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

Beliau adalah Asy Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman bin Naashir bin Abdullah bin Nashir As Sa’di dari Bani Tamim.

Beliau dilahirkan di kota Unaizah, daerah Qosim (sekarang di Kerajaan Saudi Arabia) pada tanggal 12 Muharram 1307 H atau 1886 M. Ibu beliau wafat ketika beliau berusia empat tahun yang disusul sang bapak di usia beliau yang ketujuh.

Beliau menghapalkan Al Quran dan menguasai ilmu qira’ah sebelum usia beliau genap sebelas tahun. Syaikh As Sa’di kemudian mendedikasikan diri beliau untuk menuntut ilmu, belajar dari para ulama di kota beliau serta ulama-ulama yang sedang berkunjung ke sana.

Di antara guru-guru beliau yang terkenal antara lain:
- Asy Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Haasir
- Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Kariim Asy Syibl
- Asy Syaikh Shalih bin Utsman, qadi Unaizah,
- Asy Syaikh Muhammad Asy Syinqiti yang tinggal di Hijaz, dan yang selain mereka.

Bagaimana pun juga, barangsiapa yang mengatakkan bahwa guru beliau adalah Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim, maka sungguh mereka telah berkata benar, karena beliau adalah seorang penuntut ilmu yang sangat antusias terhadap karya Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim.

Karakteristik utama beliau adalah beliau memiliki akhlak yang sangat mulia. Beliau begitu ramah, baik dengan yang lebih tua maupun yang muda. Beliau akan berbicara kepada setiap orang sesuai dengan tingkat pemahaman serta apa yang terbaik bagi orang tersebut. Beliau tidak perduli dan menjauh dari kemewahan serta godaan kehidupan dunia. Beliau tidak ambil peduli dengan kedudukan, kekuasaan, maupun kemasyhuran.

Beliau menulis banyak karya, di antaranya:
1. Al Adillati wal Qawathi’ wal Baraahin fi Ibthali Ushulul Mulhidin
2. Al Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam
3. Intisharul Haq
4. Bahjahtu Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’ul Akhbar (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mutiara Hikmah Penyejuk Hati, Syarah 99 Hadits Pilihan” oleh Al Ustadz Harits Abrar Thalib, Penerbit Cahaya Tauhid Press)
5. At Ta’liq wa Kasyfun Niqaab ala Nizhami Qawaidul I’rab
6. Taudhih Al Kaafiyah Asy Syafiyah
7. Taudhihu wal Bayaan li Sajaratil Iman
8. Haasyiyah Fiqhiyah
9. Diiwan Khutab
10. Al Qawaidul Hisan
11. Tanzihuddin
12. Radd ala Al Qasimi
13. Al Haqq Al Wadhih Al Mubayyin
14. Taisir Karimirrahman fit Tafsiri Kalamil Mannan, sebuah tafsir Al Quran sebanyak delapan jilid.
15. Hukmu Syarbud Dukhan (Hukum Menghisap Rokok)
16. Risalah fi Qawaid Al Fiqhiyyah
17. Al Fatawa As Sa’diiyah
18. Al Wasaailul Mufiidah lil Hayatis Sa’idah (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kunci Meraih Kebahagiaan Hidup oleh Al Ustadz Fuad Qawwam, Lc. Penerbit Cahaya Tauhid Press)
19. Ad-Durar Al-Mukhtasharah fii Mahaasin Al-Islaam, (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sungguh Islam itu Indah!” oleh Al Ustadz Fuad Qawwam, Lc. Penerbit Al Ilmu)
20. Al Qawaidul Hisan lit Tafsiril Qur’an (Kaidah-kaidah dalam menafsirkan Kitab Suci Al Qur’an)
21. Al Qaulussadiid fi Maqasidit Tauhid (merupakan penjelasan terhadap Kitabut Tauhid karya Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
22. Minhajus Salikin fit Taudhihil Fiqhi fid Diin
23. Ar Riyadh An Nadhirah dan puluhan kitab lainnya.

Di Antara Murid Beliau
Salah seorang murid Asy Syaikh As Sa’di yang termasyhur adalah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Asy Syaikh Al Utsaimin belajar ilmu tauhid, tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqh, ilmu waris, musthalah hadits, nahwu dan sarf.

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah memberikan sebuah testimony tentang guru beliau, Asy Syaikh As Sa’di,

“Saya banyak sekali terpengaruh dengan metode beliau dalam mengajar dan menyampaikan ilmu, bagaimana mempermudah murid-murid beliau agar bisa memahami dengan beragam contoh dan makna-makna. Dan saya juga terpengaruh dengan akhlak beliau karena Asy Syaikh Abdurrahman rahimahullah adalah orang yang memiliki akhlak yang sangat mulia, beliau rahimahullah banyak sekali ilmu dan ibadahnya, beliau terkadang bersenda gurau dengan yang lebih muda, bermurah senyum dengan yang lebih tua. Dia adalah salah seorang yang kulihat paling baik akhlaknya.”

Demikianlah kesaksian Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin terhadap guru beliau Asy Syaikh As Sa’di.

Murid beliau yang lain adalah Asy Syaih Abdullah bin Abdul Aziz bin Aqil, salah seorang anggota Hai’ah Ad Daimah bi Majalisil Qadhail A’la – Komite Tetap dalam Mahkamah Agung Kerajaan Saudi Arabia.

Wafat Beliau
Beliau hidup dalam keadaan yang mulia dan terpuji sampai akhirnya beliau wafat pada tanggal 24 Jumadits Tsani tahun 1376 H/ 1955 H.

Referensi:
- Biography of Shaikh Abdurrahman bin Naasir As Sa’dee, Fatwa-Islam.Com, alamat URL: http://fatwa-online.com/scholarsbiographies/14thcentury/ibnsadee.htm (diakses tanggal 9 Mei 2009)
- Tarjumah Asy Syaikh As Sa’di dalam Maktabah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, e-book diterbitkan oleh Mauqi’ Ruuhul Islam www.islamspirit.com
- Syarh Al Ushuluts Tsalatsah, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, e-book diterbitkan oleh Muasasah Asy Syaikh Bin Utsaimin http://www.binothaimeen.com/

(Disusun oleh Abu Umar Al Bankawy. Copyright: Silakan dicopy dengan mencantumkan sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/05/09/biografi-asy-s…nashir-as-sadi)


Read More...

Biografi Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari

Berikut biografi Asy-Syaikh Abdullah Al Bukhari, yang insya Allah akan hadir di tengah-tengah kita kedua kalinya, di kota Bantul, Yogyakarta tahun 2009 ini.

Nama :
‘Abdullâh bin ‘Abdirrahîm bin Husain bin Mahmûd As-Sa’di kemudian Al-Bukhâri Al-Madîni.

As-Sa’di adalah nisbah kepada Bani Sa’d yang berasal dari Ath-Thâ`if. Beliau dilahirkan di Madinah di desa Bâbut Tamâr.

Ayahnya :
Adapun tentang ayah beliau, yaitu Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm bin Husain Al-Bukhâri rahimahullah, tumbuh dalam kondisi yatim. Telah hafal Al-Qur`an semenjak kecil. Belajar di Madrasah Al-’Ulûm Asy-Syar’iyyah. Beliau sangat berprestasi. Di tengah aktivitasnya, beliau juga sangat aktif dan bersemangat menghadiri halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi dan mengambil ilmu dari para ‘ulama pada waktu itu.

Kemudian beliau pindah ke kota Riyâdh, bekerja sebagai staff Al-Malik (Raja) ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah. Setelah itu beliau bekerja pada bidang lain, dan pada awal tahun 1374 H bergabung pada Hai`ât Al-Amri bil Ma’rûf. Pimpinan umumnya waktu itu adalah Asy-Syaikh Al-’Allâmah ‘Umar bin Hasan âlu Asy-Syaikh.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm Al-Bukhâri mendapat ijazah dan rekomendasi yang ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Umar bin Hasan âlu Asy-Syaikh atas kebaikan prilaku dan tugas beliau. Ijazah tersebut bernomor 2396/Kh/M tertanggal 25/9/1377 H.

Kemudian Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm pindah ke Madinah, bertugas di Al-Mahkamah Asy-Syar’iyyah Al-Kubrâ pada tanggal 13 – 2 – 1380 H. Pimpinan mahkamah pada waktu itu adalah Asy-Syaikh Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Shâlih rahimahullah, beliau sekaligus imam dan khathib Masjid Nabawi. Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm juga mendapat ijazah dari pimpinan mahkamah tertanggal 21/9/1392 H. ditegaskan dalam ijazah tersebut : “Selama bertugas menjadi teladan dalam kesungguhan dan semangat kerja. Senantiasa menjalankan tugas dengan sangat baik.”

Kemudian pada tanggal 1 – 4- 1388 H, beliau pindah ke Universitas Islam Madinah, dengan Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah sebagai rektornya. Beliau juga mendapat ijazah dari Asy-Syaikh Al-Imâm ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, bahwa “Bersifat dengan prilaku dan akhlaq yang baik, dan sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas.” Ijazah tersebut bernomor 338 tertanggal 27/31392 H. Beliau terus bertugas di Universitas Islam Madinah sampai pensiun pada 1 – 7 – 1407 H.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm Al-Bukhâri adalah seorang yang sangat rajin beribadah, bersemangat dalam ilmu, sangat mencintai dan menghormati para ‘ulama, konsisten berpegang kepada sunnah, dan sangat menentang bid’ah dan para pengusungnya. Beliau juga menjaling hubungan sangat baik dan erat dengan sejumlah ‘ulama besar Ahlus Sunnah, di antaranya Samâhatul Imâm Al-’Allâmah Al-Mufassir Muhammad Al-Amîn Asy-Syinqhîthi (penulis tafsir Adhwâ`ul Bayân ) rahimahullah, Samâhatul Imâm Syaikhul Islâm ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdillâh bin Bâz rahimahullah, beliau juga sering berhubungan dengan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh ‘Abdurrahmân As-Sa’di –bahkan Asy-Syaikh Sa’di menghadiahkan kepada beliau sejumlah kitab yang padanya ada tulisan tangan beliau. Kitab-kitab tersebut masih tersimpan- , di antaranya juga : Al-’Allâmah Al-Muhaddits Hammâd Al-Anshâri, Al-’Allâmah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-’Abbâd, Al-’Allâmah Al-Mujâhid Muhammad Amân Al-Jâmi, Al-’Allâmah Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali, Al-’Allâmah ‘Umar bin Muhammad Fallâtah, dan masih banyak lagi.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm Al-Bukhâri wafat pada 23 Dzulhijjah 1422 H, di dekat salah satu pintu masuk Masjid Nabawi, menjelang maghrib, dan ketika itu beliau sedang bershaum. Meninggalkan 13 anak.

Menuntut Ilmu
Asy-Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdirrahîm hafizhahullâh tumbuh di bawah asuhan dan bimbingan kedua orang tuanya yang sangat antusias dan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu, serta upaya mendidik anak-anak dengan pendidikan yang selamat dan lurus.

Beliau mulai menghafal Al-Qur`an semejak tahun-tahun pertama ketika beliau duduk di madrasah ibtida`iyyah di Masjid Al-Imâm Al-Bukhâri ( ayah beliau sebagai penanggung jawab di masjid tersebut ).

Beliau dikarunai kecintaan terhadap ilmu hadits sejak kecil. Karena itu beliau sangat bersemangat untuk mengumpulkan dan membaca kitab-kitab tentang ilmu hadits, bertanya tentang perkara yang sulit, dan menghafalnya.
Beliau juga sangat bersemangat untuk mempelajari kitab-kitab aqidah, karena beliau melihat kebutuhan umat yang sangat besar terhadapnya. Itu semua beliau lakukan dengan cara senantiasa rutin dan bermulâzamah di Masjid Nabawi.

Guru-gurunya antara lain :
Dalam bidang Al-Qur`an dan Tajwid
1.Asy-Syaikh Muhammad Ramadhân Ad-Dahlawi v
2.Asy-Syaikh Al-Mudaqqiq Sayyid Lâsyîn Abul Faraj hafizhahullâh, banyak menimba ilmu dari beliau, terutama dalam penarapan tilawah dan praktek langsung dalam bidang tajwid.
3.Asy-Syaikh Ahmad ‘Abdul Karîm rahimahullah.
4.Asy-Syaikh Muhammad Al-Marisi rahimahullah (juru tulis di Universitas Islam Madinah dan imam di Masjid Al-Imâm Al-Bukhâri) Banyak mengambil ilmu tajwid dari beliau. Juga belajar secara khusus risalah yang berjudul Al-Burhân fî Tajwîdil Qur`an, karya Ash-Shâdiq Qamhari. Juga belajar ilmu khath, baik teori maupun praktek. Demikian juga belajar ilmu nahwu dengan mempelajari kitab Al-Âjurrûmiyyah.
5.Asy-Syaikh Mu’ammar Bakri bin ‘Abdil Majîd Ath-Tharâbîsyi. Mendapat ijazah dari beliau dalam bidang Al-Qur`an. Juga mendapat ijazah umum atas semua riwayat beliau yang didapat dari gurunya Asy-Syaikh Muhammad bin Salîm Al-Hulwâni.
6.Asy-Syaikh Ahmad Al-Qâdhi hafizhahullâh. Secara khusus mengambil ilmu dalam bidang tajwid, dan mempelajari kitab Haqqut Tilâwah karya Husni Syaikh ‘Utsmân.

Dalam berbagai disiplin ilmu lainnya :
1.Al-’Allâmah An-Nâshih Ash-Shâdiq Ar-Rabbâni Asy-Syaikh Muhammad Amân bin ‘Ali Al-Jâmi rahimahullah. Bermulâzamah kepada beliau selama 10 tahun. Mendapatkan ijazah dari beliau atas berbagai kitab yang dipelajari dari beliau dalam berbagai disiplin ilmu, sebagaimana tertulis dalam ijazah yang sangat menjadi kebanggaan Asy-Syaikh Al-Bukhâri. Kitab-kitab yang dipelajari dari beliau, antara lain :
-Al-Ushûluts Tsalâtsah karya Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb
-Al-Qawâ’idul Arba’ karya Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb
-Kitâbut Tauhid karya Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb
-Fathul Majîd karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan, cucu Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb.
-Qurratu ‘Uyûnil Muhawwidîn karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan, cucu Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb
-Tajrîdut Tauhid karya Al-Maqrîzi
-Al-’Aqidah Al-Wâsithiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.
-Al-Hamawiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.
-At-Tadmûriyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.
-Syarh Al-’Aqîdah Ath-Thahâwiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
-Al-Qawâ’idul Mutslâ, karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimîn.
-Qathrun Nadâ,
-Al-âjurrûmiyyah,
-Nailul Authâr (beberapa bab), karya Asy-Syaukâni.
-Zâdul Ma’âd, karya Ibnul Qayyim.
-Kitâbush Shiyâm dari kitab Shahîhul Bukhâri.
-’Umdatul Ahkâm, karya Abdul Ghanî Al-Maqdisi.
-dan masih banyak lagi
mayoritasnya di Masjid Nabawi, sebagian lagi di masjid dekat rumah Asy-Syaikh Al-Jâmi, sebagiannya lagi di Masjid Ash-Shâni’ di desa Al-Mashâni’

2.Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Fâdhil ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbâd hafizhahullâh. Bermulazamâh kepada beliau selama 16 tahun. Kitab-kitab yang dipelajari dari beliau antara lain :
-Jilid terakhir kitab Shahîh Muslim
-Shahîh Al-Bukhâri
-Sunan An-Nasâ`i
-Sunan Abî Dâwûd
-Sebagian besar Jâmi’ At-Tirmidzi
-Al-Lu`lu` wal Marjân (belum sampai tamat)
-’Aqidah Ibni Abî Zaid Al-Qairâwani
Asy-Syaikh Al-Bukhâri bercerita, “Pada musim haji tahun 1420 H saya membaca di hadapan beliau satu juz Kitâbul Hajj dari kitab Syarhus Sunnah karya Al-Imâm Al-Baghawi rahimahullah. Kemudian pada musim haji tahun 1421 H saya membaca di hadapan beliau kitab Fatwâ Arkânil Islâm karya Asy-Syaikh Al-Utsaimîn. … .”

3.Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Mu`arrikh ‘Umar bin Muhammad Fallâtah rahimahullah . Menghadiri pelajaran syarh terhadap kitab Shahîh Muslim, Al-Muwattha`, dan syarh tentang sirah nabawiyyah.

4.Al-’Allâmah Al-Faqîh Asy-Syaikh ‘Athiyyah bin Muhammad Sâlim rahimahullah.
Menghadiri pelajaran syarh terhadap kitab Mudzakkirah Asy-Syinqithi fî Ushûlil Fiqh, dan sebagian pelajaran kitab Ar-Rahbiyyah, yang membahas tentang ilmu fara`idh, dan pelajaran kitab Syarh Al-Waraqât. Semua pelajaran tersebut di Masjid Nabawi.

5.Asy-Syaikh Al-’Allâmah An-Nâshih ‘Ali bin Muhammad bin Sinân rahimahullah. Mempelajari kitab Alfiyyah Ibni Mâlik, Irsyâdhul Fuhûl karya Asy-Syaukâni, dan Ar-Raudh Al-Murabbâ’ fiqh hanbali.

6.Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Mujâhid An-Nâqid Asy-Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali hafizhâhullâh. Belajar kepada beliau di masjid dekat rumah beliau ketika itu, yaitu di kampung Al-Azhari, beberapa pelajaran antara lain pelajaran Muqaddimah Shahîh Muslim, At-Taqyîd wal îdhah karya Al-Hâfizh Al-’Irâqi, I’lâmul Muwaqqi’în karya Ibnul Qayyim, dan Ikhtishâr ‘Ulûmil Hadîts karya Ibnu Katsîr.

7.Al-’Allâmah Al-Mu`arrikh Al-Lughawi An-Nassâbah Shafiyyurrahmân Al-Mubârakfûri rahimahullah. Duduk bersama beliau selama kurang lebih dua tahun. Membaca di hadapan beliau beberapa bagian yang mencukupi dari Al-Kutubus Sittah –sebagaimana tertulis dalam ijazah- dan mendapatkan ijazah Al-Kutubus Sittah dari beliau (yaitu kitab : Shahîh Al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwûd, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasâ`i, Sunan Ibni Mâjah), dan juga ijazah atas semua riwayat beliau yang bersambung dengan kitab Al-Hâfizh Asy-Syaukâni Ithâful Al-Akâbir bi Isnâdid Dafâtir.

Juga membaca di hadapan beliau sebagian besar kitab Jâmi’ At-Tirmidzi, dan beberapa kitab dalam bidang lughah, terkhusu Nahwu dan Sharaf, dan kitab-kitab yang tersebar di negeri India, di antara kitab Syarh Mi`ah ‘âmil. Juga membaca di hadapan beliau beberapa kitab aqidah, seperti Ushûlus Sunnah karya Al-Imâm Ahmad bin Hanbal, dll. Pelajaran-pelajaran tersebut mayoritas di Masjid Nabawi dalam majelis khusus.

8.Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Faqîh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyâ An-Najmi rahimahullah. Menghadiri majelis pembacaan kitab Sunnan Abî Dâwûd di rumah kediaman Asy-Syaikh Muhammad bin Hâdi Al-Madkhali. Kemudian beliau (Asy-Syaikh An-Najmi) memberikan ijazah umum atas semua riwayatnya, dengan nama Inâlatuth Thâlibîn bi Asâdîd Kutubil Muhadditsîn.

9.Al-’Allâmah An-Nabîh Asy-Syaikh ‘Alî bin Nâshir Al-Faqîhi hafizhahullâh. Membaca di hadapan beliau sejumlah besar kitab aqidah, antara lain kitab Sharîhus Sunnah karya Ibnu Jarîr Ath-Thabari, kitab Sulâlatur Risâlah fî Dzammir Rawâfidh min Ahlidh Dhalâl karya Mulâ ‘Ali Al-Qâri, pada musim haji tahun 1421 H.

10.Asy-Syaikh Al-Jalîl ‘Ubaid bin ‘Abdillâh Al-Jâbiri hafizhahullâh. Membaca di hadapan beliau kitab Mudzakkirah Asy-Syinqîthi fî Ushûlil Fiqh, As-Sailil Jarrâh (jilid I) karya Al-’Allâmah Asy-Syaukâni rahimahullah.

11.Asy-Syaikh Al-Lughawi Al-Bâri’ ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Al-Kûni. Mempelajari kitab Malhatul I’rab karya Al-’Allâmah Al-Harîri, dan juga mengikuti majelis pelajaran nahwu lainnya.

Para masyâikh ahlus sunnah lainnya yang mengajar beliau di Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah juga termasuk guru-guru beliau.

Hubungan dengan Asy-Syaikh Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah :

Beliau berdua adalah ‘ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah masa ini. Tokoh besar salafiyyun masa ini yang sangat terhormat dan disegani. Ketokohan dan kapasitas keilmuan dan keshalihan beliau berdua diakui secara internasional, baik oleh kawan maupun lawan.

Beliau berdua merupakan guru besar Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri.

Asy-Syaikh Al-Imâm ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah
Menghadiri majelis beliau di masjid di daerah Ath-Tha`if, pada musim panas tahun 1408 H, membahas kitab Bulûghul Marâm karya Al-Hâfizh Ibnu Hajar. Kemudian hadir pula di majelis pembacaan kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jâmi’it Tirmidzi di kediaman beliau di Ath-Tha`if. Sering hadir dalam majelis-majelis beliau dan menyampaikan berbagai pertanyaan kepada beliau.
Asy-Syaikh Al-Bukhâri menuturkan : “Aku ingat, suatu waktu ketika aku bertanya kepada beliau tentang belajar di Universitas Islam Madinah. Maka beliau memberikan motivasi dan dorongan kepadaku. Kemudian aku tanya lagi tentang Fakultas Hadits, maka beliau pun makin memberikan motivasi kepadaku.”

Asy-Syaikh Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah.
Menghadiri pelajaran-pelajaran beliau di Masjidil Haram pada sepuluh terakhir Ramadhân tahun 1407 H, ketika itu beliau mensyarh Hadits Jibril yang sangat panjang. Menghadiri pelajaran beliau di ‘Unaizah pada musim panas tahun 1408 H dan 1409 H. Demikian juga senantiasa hadir dalam pelajaran beliau di Masjid Nabawi.

Hubungan dengan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Muhaddits An-Nâqid Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni rahimahullah.

Ketika beliau rahimahullah berziarah ke Madinah pada tahun 1408 H, maka kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Asy-Syaikh Al-Bukhâri untuk senantiasa menghadiri seluruh majelis-majelis beliau. Majelis-majelis umum dan sebagian dari majelis khusus.

Asy-Syaikh Al-Bukhâri menuturkan kenangan manisnya bersama Asy-Syaikh Al-Albâni : “Aku merasa mulia ketika aku berkesempatan untuk menyendiri bersama beliau. Ketika itu beliau sedang berada di luar masjid hendak menuju tempat tinggalnya. Maka aku menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, sambil beliau memegang tanganku dan menyilangkan jari-jari tangan kanan beliau dengan jari-jari tangan kiriku. Kemudian beliau menanyaiku, bahwa siapa namaku dan belajarku.”

Karir Ilmiah
1.Lulus dari Fakultas Hadits Al-Jâmi’ah Al-Islâmiyyah (Universitas Islam) Madinah pada tahun ajaran 1410 – 1411 H dengan peringkat : sangat baik.
2.Guru/Pengajar Ad-Dirâsât Al-Islâmiyyah (Studi Ilmu Islam) di madrasah Ibtida`iyyah dan Tsanawiyyah selama 6 tahun, di bawah Departemen Pendidikan dan Pengajaran.
3.Tahun 1417 H melanjutkan jenjang Magister (S2) di Universitas Ummul Qurâ Makkah Al-Mukarramah, Fakultas Da’wah dan Ushûlud Dîn Jurusan Al-Kitâb was Sunnah. Lulus dengan predikat cumlaod.
4.Menulis tesis magister dengan judul Marwiyyât Abî ‘Ubaidah bin ‘Abdillâh bin Mas’ûd ‘an Abîhi Jam’an wa Dirâsatan. Diuji pada 21 – 8 – 1420 H, dan berhasil meraih cumload dengan anjuran untuk mencetak tesis tersebut.
5.Tahun 1418 H pindah dari Departemen Pendidikan dan Pengajaran ke Universitas Islam Madinah, kembali ke Fakultas Hadits jurusan Fiqhus Sunnah wa Mashâdiruhâ.
6.Berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1426 H dengan tesis tahqîq (penelitian) atas kitab Takmilatu Syarh At-Tirmidzi karya Al-Hâfizh Al-’Irâqi, mulai awal kitab ar-radhâ’ sampai pada penghujung kitab Idzâ Aflasa lirrajuli Gharîm. Dengan prestasi cumlaude pada level utama.
7.Sekarang sebagai Ustâdz Musâ’id pada Fakultas Hadits jurusan Fiqhus Sunnah wa Mashâdiruhâ.

Karya-karya Tulis :
Tidak diragukan, bahwa ikut berperan aktif dalam mengumpulkan ilmu dan menyebarkannya merupakan perkara yang sangat penting dan mulia. Allah  telah memberikan nikmat dan taufiqnya kepada Asy-Syaikh Al-Bukhâri untuk juga memiliki andil yang besar pada sisi ini. Beliau memiliki banyak karya tulis ilmiah yang beliau tekuni sejak lama. Tidak lain adalah dalam rangka ikut berperan aktif menyebarkan ilmu yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas manhaj salaf.

Di antara karya tulis beliau :
1.Marwiyyât Abî ‘Ubaidah bin ‘Abdillâh bin Mas’ûd ‘an Abîhi Jam’an wa Dirâsatan (karya tulis), dicetak oleh penerbit Dâr Adhwâ’is Salaf Al-Mishiryyah.
2.Takmilatu Syarh At-Tirmidzi karya Al-Hâfizh Al-’Irâqi (tahqîq). Belum dicetak.
3.Manârus Sabîl bi Takhrîji Juz`i Ibni Dîzîl (tahqîq) dicetak oleh penerbit Al-Ghurabâ` Madinah pada tahun 1413 H. dicetak ulang lagi pada tahun ini 1429 H oleh penerbit Dâr Al-Imâm Ahmad Mesir.
4.Ithâful Nubalâ` bi Adillati Tahrîm Ityânil Mahal Al-Makrûh minan Nisâ` (karya tulis) dicetak pada tahun 1414 H, oleh penerbit Dârul Ghurabâ` Madinah, dicetak ulang pada tahun 1428 H oleh penerbit Dârul Minhâj, Mesir.
5.Riyâdhul Jannah bi Takhrîji Ushûlis Sunnah libni Abî Zamanin (tahqîq dan takhrîj) dicetak tahun 1414 H oleh penerbit Dârul Ghurabâ`, dicetak ulang oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Mesir pada tahun ini 1429 H.
6.Tuhfatul Ikhwân bi Takhrîji Majlisi min Amâli Ibni Bisyrân (takhrîj dan tahqîq) masih tulisan tangan belum dicetak.
7.At-Tanbîh wal Irsyâd litajâwuzât Mahmûd Al-Haddâd (karya tulis), fotocopy, publikasi tahun 1414 H.
8.Al-Fathul Rabbâni fir Radd ‘alâ Abil Hasan As-Sulaimâni (karya tulis) dicetak tahun 1424 H oleh penerbit Dârul âtsâr, Yaman, dan dicetak pula pada tahun 1425 H oleh penerbit Dâr Mâjid ‘Asîrî, Jeddah – Saudi.
9.At-Taudhîhul Abhar li Tadzkirati Ibnil Mulaqqin fî ‘Ilmil Atsar karya Al-Hâfizh As-Sakhâwi (tahqîq) dicetak oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Riyadh – Saudi tahun 1418 H, dan tahun ini dicetak lagi oleh penerbit Dâr Al-Imâm Ahmad, Mesir.
10.Al-Maqâlat Asy-Syar’iyyah/kumpulan pertama, (karya tulis), dengan pengantar dari Al-’Allâmah Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah dan Al-’Allâmah Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali hafizhahullâh, dicetak oleh Dârul Madînah Al-’Amaliyyah, Imarat pada tahun 1428 H, dan dicetak pula oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Mesir pada tahun yang sama.
11. Al-Maqâlat Asy-Syar’iyyah/kumpulan kedua (karya tulis), dicetak oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Mesir pada tahun 1429 H.
12. Al-Ajwibah Al-Madaniyyah ‘an Al-As`ilatil Haditsiyyah (karya tulis) dicetak pada tahun 1429 H oleh penerbit Dârul Istiqamah, Mesir.
13.Mushthalahâtul Muhadditsîn fî Kitâbatil Hadîts wa Dhabthihi wa Ishlâhihi (pembasan ilmiah) telah diuji oleh Universitas Al-Imâm Muhammad bin Su’ûd. Diangkat oleh universitas dan akan ditampilkan dalam beberapa edisi majalah universitas. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.
14.Su`âlât Al-Imâm Abî Zur’ah Ad-Dimasyqi li Al-Imâm Ahmad bin Hanbal fi Kitâbihi (at-Târîkh), Jam’an wa Dirâsatan (karya tulis), pembahasan ilmiah telah diuji oleh Lembaga Riset Ilmiah Universitas Islam Madinah. Kemudian akan dicetak oleh Dârul Istiqâmah, Mesir. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.
15.Tamâmul Minnah bi Syarh Ushûlis Sunnah li Al-Imâm Al-Humaidi (transkrip atas pelajaran) – (karya tulis), dicetak oleh Dârul Istiqâmah, Mesir tahun 1429 H.
16.At-Ta’liqât Ar-Radhiyyah ‘alâ Al-Manzhûmah Al-Baiqûniyyah (karya tulis), akan dicetak oleh Dârul Istiqâmah, Mesir. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.
17.Kemudian Dârul Istiqâmah juga meminta naskah transkrip atas transkrip 2 kaset syarh kitab Al-Mûqizhah karya Adz-Dzahabi. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.
18.At-Ta’liqât Ar-Radhiyyah ‘alâ Al-’Aqîdah Al-Wâsithiyyah karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah. Syarh yang telah ditranskrip, tahun 1424 H. Naskahnya diminta oleh Dârul Falâh untuk dicetak. Saat ini masih dalam proses murâja’ah.
Dan masih banyak lagi selain yang tersebut di atas. Semoga Allah membantu dan memudahkan.

Kitab-kitab yang diajarkan :
Kitab-kitab yang diajarkan oleh Asy-Syaikh Al-Bukhâri hafizahullâh dalam berbagai pelajaran beliau, antara lain :
1.Haqqut Tilâwah, dalam bidang ilmu tajwid. Karya Husni Syaikh ‘Utsmân.
2.Al-Burhân fi Tajwîdil Qur`an , karya Ash-Shâdiq Al-Qamhâwi.
3.Al-Ushûlts Tsalâtsah.
4.Al-Qawâ’idul Arba’ah.
5.Kitâbut Tauhîd (ketiga kitab ini karya Al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb v).
6.Fathul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd.
7.Sullamul Wushûl, karya Al-’Allâmah Hâfizh Hakami.
8.Ushûlus Sunnah, karya Al-Humaidi.
9.As-Sunnah, karya Al-Muzani.
10.Sharîhus Sunnah, karya Ibnu Jarîr Ath-Thabari.
11.As-Sunnah, karya ‘Abdullah bin Al-Imâm Ahmad.
12.Al-Imân, karya Abû ‘Ubaid Al-Qâsim bin Sallâm.
13.Kitâbut Tauhîd dari kitab Shahîh Al-Bukhâri.
14.Kitâbul Imân dari kitab Shahîh Al-Bukhâri.
15.Al-Wâsithiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.
16.Kitâbur Riqâq dari kitab Shahîh Al-Bukhâri.
17.Al-Manzhûmah Al-Baiqûniyyah.
18.Ikhtishâr ‘Ulûmil Hadîts, karya Ibnu Katsîr.
19.At-Taudhîhul Abhar li Tadzkirati Ibnil Mulaqqin fî ‘Ilmil Atsar karya Al-Hâfizh As-Sakhâwi.
20.Al-Mûqizhah karya Adz-Dzahabi.
21.Al-Muqni’ fî ‘Ulûmil Hadîts karya Ibnul Mulaqqin.
22.Irsyâd Thullâbil Haqâ`iq, karya Al-Hâfizh An-Nawawi.
23.Muqaddimah Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj.
24.Nukhbatul Fikar fî Mushthalahi Ahlil Atsar, karya Al-Hâfizh Ibni Hajar.
25.Mukhtashar Shahîhil Bukhâri, karya Az-Zubaidi.
26.Al-Adabul Mufrad karya Al-Imâm Al-Bukhâri.
27.’Umdatul Ahkâm Al-Kubrâ karya Al-Hâfizh Al-Maqdisi.
28.’Umdatul Ahkâm Ash-Sughrâ karya Al-Hâfizh Al-Maqdisi.
29.Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm karya Al-Hâfizh Ibnu Hajr.
30.Al-Anjam Az-Zâhirât ‘ala Hill Alfâzhil Waraqât, karya Al-Mâridîni Asy-Syâfi’i.
31.Al-Arba’în An-Nawawiyyah.
32.Minhâjus Sâlikîn, karya Al-’Allâmah As-Sa’di.
33.Bahjatul Qulûbil Abrâr, karya Al-’Allâmah As-Sa’di.
34.Al-Muharrar fîl Hadîts, karya Al-Hâfizh Ibnu ‘Abdil Hâdi.
35.Ar-Risâlah At-Tabûkiyyah, karya Al-Imâm Ibnul Qayyim.
36.Al-Wâbilush Shayyib min Al-Kallimith Thayyib, karya Al-Imâm Ibnul Qayyim.
37.Ad-Durûsul Muhimmah li ‘âmmatil Ummah, karya Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.
38.Dhawâbithul Jarh wat Ta’dîl, karya ‘Abdul ‘Azîz ‘Abdul Lathîf.
39.Ar-Raf’u wat Takmîl fil Jarh wat Ta’dîl, karya Al-Kanawi Al-Hindi.
40.Thuruq Takhruju Hadîts Rasûlillâh .
41.Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi wa âdâbis Sâmi’, karya Al-Hâfizh Al-Khathîb Al-Baghdâdi.
42.Al-Âjurrûmiyyah.
Dan masih banyak lagi lainnya.
Para ‘Ulama Senior yang memberikan Ijazah

Para ‘ulama kibâr (senior) Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memberikan ijazah kepada Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri, antara lain :
1.Asy-Syaikh Bakri Ath-Tharâbîsyi.
2.Al-’Allâmah An-Nâshih Ash-Shâdiq Ar-Rabbâni Asy-Syaikh Muhammad Amân bin ‘Ali Al-Jâmi rahimahullah.
3.Al-’Allâmah Al-Mu`arrikh Al-Lughawi An-Nassâbah Shafiyyurrahmân Al-Mubârakfûri rahimahullah.
4.Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Faqîh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyâ An-Najmi rahimahullah.
5.Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Muhaddits Abû Muhammad Badî’uddîn Asy-Syahur Rasyîd As-Sindi Asy-Syarîf rahimahullah. Ijazah “Munjidul Mustajîz li Riwâyatis Sunnah wal Kitâbil ‘Azîz” tertanggal 15 Rajab 1416 H.

Dan masih banyak lagi. Ada pula para ‘ulama yang mengirimkan ijazah kepada beliau, tanpa beliau minta.

Pujian dan Tazkiyyah Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Mujâhid Al-Wâlid Asy-Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali hafizhahullâh

Asy-Syaikh Rabî’ ditanya : “Bagaimana pendapat engkau menghadiri pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri?”

Beliau hafizhahullâh menjawab : “Saya menasehatkan kepada kaum muda di Madinah untuk menghadiri pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Al-Akh ‘Abdullâh Al-Bukhâri, karena sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang terbaik di kalangan Ahlus Sunnah, dan termasuk orang-orang yang senantiasa membelanya dalam setiap kesempatan sepengetahuanku. Dia rajin menulis, beraktivitas, dan bergerak dalam rangka membela sunnah dan ahlus sunnah lebih banyak daripada mayoritas orang-orang yang memeranginya dari kalangan ahlul ahwâ` (pengikut hawa nafsu), baik dulu maupun sekarang. Jadi dia (Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri) adalah di antara orang-orang terbaik di kalangan ahlus sunnah, Insyâ`allâh. Kita memohon kepada Allah agar mengokohkan kita dan dia di atas sunnah dan menjadi kita semua bermanfaat. Tidaklah aku tahu tentangnya, kecuali dia adalah salafy yang baik. Kita semua sering berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang sering berbuat salah adalah orang yang senantiasa bertaubat.
Maka saya wasiatkan dengan pria ini (Asy-Syaikh ‘Abdullâh), karena dia di antara lulusan terbaik Al-Jâmi’ah Al-Islâmiyyah (Universitas Islam Madinah), menyandang gelar magister, dan sekarang sedang menempuh doktoral. Dia orang yang sangat cerdas, pemuda yang sangat cerdas. Saya mengenalnya berada di atas manhaj salafi, insyâ`allâh. Maka hadirlah kalian (pada pelajaran-pelajaran)nya, dan ambillah faedah darinya.”

[Tazkiyyah ini beliau sampaikan pada hari Jum'at 14 Jumâdal Ulâ 1425 H, dalam tanya jawab pada pelajaran Kitâbusy Syarî'ah karya Al-Imâm Al-âjurri (Bab : Beriman kepada Telaga yang diberikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), tepatnya pada menit 42 : 35]

(Sumber : Email dari al Akh Abu Amr. File PDF di http://www.salafy.or.id/upload/biografialBukhari.pdf)


Read More...
 

Romie's Blog

Akhwat.web.id

Nasihat Online