Oleh Ustadz Abu Umar Basyir
Sejenak, penulis terkadang merenungkan, betapa limpahan karunia Allah sudah demikian banyak terhadap diri kita, terlebih-lebih di era modern sekarang ini. Segala kemudahan, kecepatan, ketepatan dan keserasian memikat, menjadi fasilitas yang tersedia nyaris di setiap sector kehidupan. Seringkali hal itu membuat kita malu, dan menimbulkan keinginan untuk rela menjadi sedikit kuper dan gagap teknologi. Perlu resanya memiliki sedikit malu seperti itu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Rasa malu adalah seluruh kebajikan”[1]
Loncatan teknologi di berbagai bidang, hasil kerja keras dan keuletan umat manusia, plus kecerdasan manusia itu sendiri sebagai anugerah utama dari Allah, setahap dmi setahap, memungkinkan terciptanya sekian fasilitas yang ada untuk mereka nikmati bersama. Semua itu sejalan dengan penegasan Allah dalam firman-Nya (yang artinya),
“Allahlah yang telah menciptakan untuk diri kalian segala yang ada di muka bumi ini.” (Al-Baqarah: 29)
Sekian banyak karunia dan sekian banyak pula yang sudah dilahap habis dan dinikmati oleh manusia. Hal itu seyogyanya mendesak mereka untuk membuat pernyataan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pencipta. Di saat kucuran karunia sedemikian derasnya, kurang bersyukur saja sudah bisa menjadi dosa yang sulit diampuni. Bagaimana pula bila sekian karunia dan fasilitas itu justru dijadikan ajang bermaksiat? Sudah demikian parahkah kebusukan jiwa kita, sehingga semakin bermandi karunia, semakin deras pula keringat kita bercucuran menggeluti maksiat. Mnculnya karunia baru, bagi kita seolah-olah menjadi kesempatan baru berbuat maksiat. Beragam fasilitas, bagi kita adalah keragaman cara dalam mendulang maksiat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki kuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
Allah juga berfirman (yang berfirman),
“Barangsiapamenghendaki kehidupan yang segera, maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki kemudian Kami tentukan baginya naar Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (Al-Isra: 18-19)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 18-19)
Bila terminal penantian ke alam bahagia bagi kita adalah dunia ini,maka maksiat itu adalah salah satu jatah keduniaan yang diberikan secara instan untuk kita. Karena, betapa kenikmatan maksiat, seberapa pun lekasnya berakhir, dan seberapa pun beratnya akibat yang harus dipikul, tetaplah diincar oleh para penggila dunia. Sehingga dunia ini tidak pernah kekurangan malin, perampok, koruptor, manipulator dan sejenisnya. Karena peminat kehidupan akhirat dalam arti sejatinya, hanyalah segelintir dari sekian banyak manusia yang hidup di dunia ini.
Catatan kaki:
[1] Lafal ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (37) (61) dalam kitab Al-Iman. Dikeluarkan juga oleh Al-Bukhari dengan lafal: “Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan belaka.” (X: 537) dalam kitab Al-Adab, bab: “Rasa Malu.” Keduanya dari Imraan bin Hushain radhiallahu ‘anhu.
Sumber: http://salafiyunpad.wordpress.com
04 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar