Kita telah mengetahui haramnya hukum nyanyian dan musik sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai hadits yang shahih. Tidak pula diketahui adanya khilaf di antara para ulama Salaf mengenai masalah ini. Namun, belakangan kemudian timbul wacana baru yang dilontarkan oleh orang-orang yang menamai dirinya sebagai seniman muslim tentang nasyid islami. Mereka menyatakan dan menganggap nasyid Islami sebagai metode baru dalam dakwah dan cara lain dalam bertaqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Betulkah demikian...?
Mengenal Nasyid
Tahukah engkau saudaraku, bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling melemparkan sya’ir dengan bersahut-sahutan. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah spontanitas, tidak berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut nasyid. Nasyid itu meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.
Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga dibolehkan secara mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena nasyid bisa saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau peringatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.”
(Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad (III/456, V/125), ad-Daarimi (II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sya’ir, maka beliau bersabda, artinya:
“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik, dan sya’ir yang buruk adalah buruk.”
(Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan takhrijnya telah diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah no. 447)
Nasyid Pada Zaman Dahulu
Orang-orang Arab pada zaman dulu biasa membakar semangat dalam berperang dengan melantunkan sya’ir-sya’ir. Dan banyak pula orang-orang asing di antara mereka yang hendak berhaji melantunkan sya’ir tentang ka’bah, zam-zam, dan selainnya ketika berada di tengah perjalanan. Abdullah bin Rawahah pun pernah melantunkan sya’ir untuk menyemangati para shahabat yang sedang menggali parit ketika Perang Khandaq. Beliau bersenandung, "Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." Kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain, "Kita telah membai'at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad."
(Rasa'ilut Taujihat Al Islamiyah, I/514–516)
Akan tetapi, para Shahabat tidak melantunkan sya’ir setiap waktu, mereka melakukannya hanya pada waktu-waktu tertentu dan sekedarnya saja, tidak berlebihan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, artinya:
“Sesungguhnya penuhnya rongga perut salah seorang di antara kalian dengan nanah itu lebih baik baginya daripada penuh dengan sya’ir.”
(Riwayat Imam Bukhari no. 6154 dalam Bab Dibencinya Sya’ir yang Mendominasi Seseorang, Sehingga Menghalanginya Dari Dzikir Kepada Allah, ‘Ilmu dan al-Qur’an, diriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Maksud dari riwayat di atas adalah kecenderungan hati seseorang kepada sya’ir-sya’ir sehingga menyibukkannya dan memalingkannya dari kesibukan dzikrullah dan mentadabburi al-Qur’an, itulah orang-orang yang dikatakan sebagai orang dengan rongga perut yang penuh dengan sya’ir. (Fat-hul Baari X/564)
Nasyid Pada Zaman Sekarang
Nasyid yang ada pada zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan nyanyian dan musik yang telah jelas keharamannya. Berbeda dengan zaman dahulu, sya’ir-sya’ir sekarang mulai dilagukan dan mengikuti kaidah/aturan seni musik, sehingga menjatuhkan pelakunya kepada bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir dan fasik. Ditambah lagi, kelompok nasyid yang belakangan didominasi oleh kaum laki-laki ini menambahkan alat musik sebagai ‘pemanis’ di dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “(Setelah diketahui dari riwayat yang shahih bahwa) Bernyanyi, memainkan rebana, dan tepuk tangan adalah perbuatan kaum wanita, maka para ulama Salaf menamakan para laki-laki yang melakukan hal itu dengan banci, dan mereka menamakan penyanyi laki-laki itu dengan banci, dan ini adalah perkataan masyhur dari mereka.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah XI/565-566)
Nasyid yang seperti ini adalah kelanjutan dari bid’ahnya kaum sufi yang menjadikan nyanyian-nyanyian (mereka menamakannya dengan as-sama’) sebagai bentuk ibadah dan keta’atan mereka kepada Allah. Kaum sufi menganggap bahwa sya’ir-sya’ir yang mereka sebut dengan at-taghbiir (sejenis sya’ir yang berisikan anjuran untuk zuhud kepada dunia) adalah bentuk dzikir mereka kepada Allah, sehingga mereka layak untuk dikatakan sebagai al-mughbirah (orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan do’a dan wirid). Ketika mereka melantunkan ‘dzikir’ mereka, mereka menambahkannya dengan kehadiran alat-alat musik yang semakin menambah keharamannya, tetapi mereka menganggap itu sebagai upaya untuk melembutkan hati. (??)
Kelompok-kelompok nasyid pada zaman sekarang yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka ingin menggeser kesukaan para pemuda terhadap lagu-lagu dan musik yang tidak Islami kepada lagu-lagu dan musik yang mereka labelkan ‘Islami’, adalah orang-orang yang telah terpengaruh dengan syubhat kaum sufi.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa beribadah dengan sya’ir dan bernasyid pada bentuk dzikir, do’a dan wirid adalah bid’ah. Dan ini lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan berdzikir. (Tash-hiidud Du’aa hal. 78)
Bagaimana Nasyid Menjadi Bid’ah?
Bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Maka, penamaan nasyid Islami adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats) dan tidak ada contoh dari Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi, maka amalan itu tertolak.
Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyebutkan tentang pensyari’atan nasyid atau penggolongan nasyid sebagai bagian dari agama. Adapun menjadikan nyanyian dan musik sebagai bagian dari agama adalah pemahaman yang dimiliki oleh kaum sufi, sebagaimana telah diterangkan di atas. Selain itu, beribadah dengan menyanyikan sya’ir adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Dan kaum Nashara pun menjadikan nyanyian sebagai bentuk dzikir dan do’a mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Fataawa Ibn Taimiyah: "Bid'ah adalah yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasul, atau ijma' para ulama as-Salaf berupa ibadah maupun i'tiqad, seperti pendapat kalangan Khawarij, Rafidhah, Syi'ah, Qadariyah, Jahmiyah dan mereka yang beribadah dengan tarian dan nyanyian di dalam masjid."
Para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam dan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum serta para Salafush Shalih tidak pernah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menggunakan nasyid-nasyid Islami seperti yang ada pada zaman sekarang. Adapun sya’ir-sya’ir yang mereka lantunkan pada waktu-waktu tertentu hanya dimaksudkan sebagai pengobar semangat ketika bekerja atau berperang, dan mereka tidak berlebihan dalam hal ini dan tidak pula menjadikannya sebagai kebiasaan apalagi menjadikannya kecintaan.
Nasyid juga bukan merupakan metode dakwah yang pernah dilakukan oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam, dan tidak pula para Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah melakukannya. Seandainya nasyid itu dikatakan sebagai metode dakwah, maka dengan begitu pelakunya telah mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna dalam menyampaikan risalah, karena beliau belum mengabarkan tentang berdakwah dengan nasyid.
Sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
Artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maaidah: 3)
Ayat di atas sebagai penjelas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan keseluruhan risalah yang disampaikan oleh Rabbnya melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam. Maka, apa-apa yang tidak termasuk syari’at pada hari itu, dia tidak akan menjadi syari’at pada hari ini dan hari-hari berikutnya. Dan pada hari itu, Allah dan Rasul-Nya tidak memasukkan nasyid sebagai syari’at Islam, maka apakah nasyid dapat menjadi syari’at pada hari ini..?
Demikianlah saudaraku, dapat kita simpulkan bahwa nasyid tidaklah mendatangkan manfaat bagi kita kecuali hanya sedikit sekali (dan ini sangat amat terbatas pada nasyid yang dibolehkan). Islam tidak pernah mensyari’atkan nasyid, akan tetapi Islam mensyari’atkan untuk berdzikir kepada Allah, mentadabburi al-Qur’an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Dan sesungguhnya berdzikir yang paling afdhal adalah dengan membaca al-Qur’an, sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya,
Artinya: “Dan Kami turunkan al-Qur’an yang merupakan obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-Israa’: 82)
Tidaklah seorang Muslim yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat itu melakukan perbuatan yang sia-sia, kecuali dia meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya:
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”
(Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi no. 2317, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Bagaimana jadinya jika syaithan membuat hati kita lebih cenderung kepada nasyid daripada kepada Kitabullah al-Karim..??
Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.
Maraji’:
Adakah Musik Islami?, Muslim Atsari, cet. Pustaka at-Tibyan.
Al-Qaulul Mufiid fii Hukmil an-Naasyiid, Isham ‘Abdul Mun’im al-Murri, cet. Maktabah al-Furqan.
Buletin an-Nur-Musik Dalam Kacamata Islam, edisi Senin 12 Mei 2008.
Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa.
Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid'ah fii Dhauil Kitaab was Sunnah, Said bin 'Ali bin Wahf al-Qaththani, cet. Muassasah al-Juraisi, Riyadh.
Sumber: http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com
09 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar