Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar Dia menangkan diatas seluruh agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) melainkah hanya Allah semata, tidak sekutu bagi-Nya, dengan mengakui dan mentauhidkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhamad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga Allah senantiasa memberi sholawat dan salam yang senantiasa bertambah kepada beliau, kepada keluarga beliau, dan para sahabat beliau. Amma ba’du.
Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam al-Qur`an,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu ceritakan.” (Adh-Dhuha: 11)
Al-Allamah As-Sa’di berkata mengenai ayat ini, “Dan ini mencakup nikmat-nikmat diniyah (yang berkaitan dengan agama) dan juga nikmat-nikmat duniawiyah (yang berkaitan dengan dunia). Maka ceritakanlah, yakni, sanjunglah Allah atas nikmat itu dan sebutlah secara khusus nikmat itu jika ada maslahatnya. Jika tidak (ada maslahatnya) maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah itu secara umum. Karena sesungguhnya menceritakan nikmat-nikmat Allah akan mendorong (kita) untuk mensyukurinya dan akan menyebabkan kecintaan hati kepada (Allah) Yang memberikan nikmat trsebut, karena sesungguhnya hati itu tercipta dengan tabiat mencintai orang yang berbuat baik.” Selesai perkataan beliau.
Dan di antara nikmat dan karunia yang agung di masa kita sekarang ini, adalah nampaknya sunnah, terkalahkannya bid’ah, dan sambutan manusia dari belahan timur dan barat untuk berpegang teguh dengan manhaj (metode dan jalan dalam beragama) yang penuh berkah,yakni manhaj salafi. Dan juga sambutan mereka untuk bernaung di bawah panji ahlussunnah as-salafiyin yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan hak itu pula mereka menjalankan keadilan. (Yang mereka terdiri dari) para sahabat yang baik, para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, para imam yang mendapat petunjuk seperti imam yang empat dan siapa saja dari para ulama yang taat yang menempuh jalan mereka, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdilwahhab dan selain mereka dari kalangan para ulama yang tulus dan baik.
Dan di antara keajaiban perbuatan Allah ta’ala, bahwa ahlul batil (para pengikut kebatilan) telah mengerahkan tentara berkuda dan pasukan pejalan kaki mereka untuk menghalangi jalan ahlussunnah as-salafiyin. Mereka melariskan kebatilan-kebatilan mereka, mengada-adakan kedustaan, membuat-buat syubhat, dan mengadakan makar yang besar. Akan tetapi, Allah enggan melainkan Dia akan menampakkan cahaya-Nya, menolong sunnah Nabi-Nya – shollallohu ‘alaihi wa sallam – maka Dia pun melapangkan dada-dada untuk (menerima) akidah yang murni ini, menggiring hati-hati manusia untuk menuju manhaj as-Salaf (pendahulu umat Islam) yang shalih, menelantarkan ahlul batil, dan mengembalikan tipu daya mereka. Maka segala puji hanya bagi Allah semenjak awal hingga terakhir, secara lahir dan batin.
Terhadap kenikmatan penuh berkah yang kita rasakan ini pada hari ini, bagi seorang mukmin yang bertauhid ada adab-adab syar’i dan kaidah-kaidah yang harus diperhatikan. Di antaranya:
Pertama: Memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat ini. Karena kenikmatan akan menjadi langgeng dengan adanya syukur, dan akan hilang dengan ketiadaan syukur. Dan nikmat yang berkaitan dengan agama ini, bagi seorang yang bertauhid adalah lebih agung daripada kenikmatan yang berkaitan dengan dunia.
Kedua: Kokoh dan konsisten di atas akidah yang murni, serta berusaha menolong, membela dan menyebarkan akidah ini dengan usaha yang lebih besar dari yang ada sekarang. Karena jika Ahlussunnah mengabaikan dakwah mengajak manusia kepada akidah mereka dan membantah apa saja yang bertentangan dengan akidah ini, niscaya para pengikut hawa nafsu dan kebid’ahan akan menguasai mereka, sehingga mereka akan membuat kerusakan terhadap para pemuda dan orang-orang awam.
Ketiga: Bersemangat dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu. Karena akidah ini hanya akan ditolong dengan ilmu, hujjah dan burhan. Sedangkan ahlu bathil memiliki banyak syubhat dan kebatilan yang tidak mungkin ditolak oleh seorang salafi kecuali jika dia memiliki ilmu dan penjelasan.
Dakwah salafiyah yang pelakunya memperhatikan ilmu dan pengajarannya, akan tetap langgeng, tersebar dan membuahkan hasil. Seperti dakwahnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – qoddasallohu ruhahu (semoga Allah mensucikan ruh beliau) – dan para murid beliau seperti Ibnul Qayyim, al-Hafizh Ibnu Katsir. Juga seperti dakwahnya al-Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdilwahhab – semoga Alloh mengampuni beliau, melimpahkan balasan dan pahala yang banyak kepadanya -, yang mana beliau tidaklah meninggal dunia kecuali telah meninggalkan begitu banyak murid-murid yang melaksanakan dakwah dan penjelasan, sehingga mereka pun setelah itu menjadi ulama di berbagai negri dan menjadi penolong sunnah dengan hujah dan burhan.
Begitu pula dengan dakwah-dakwah salafiyah yang merupakan buah dari dakwah ishlahiyah (dakwah menuju perbaikan) itu, di seluruh negri-negri Islam. Seperti dakwah (yang dilakukan oleh) Ahlul Hadits di India dan sekitarnya, dakwah Anshorussunnah di Mesir, dakwah al-Allamah al-Albani di Syam, al-Allamah Taqiyuddin al-Hilali di Maghrib (Maroko), dakwah al-Allamah Muqbil al-Wadi’i di negri Yaman, dan dakwah-dakwah ishlahiyah lain yang berdiri di atas ilmu dan pengajaran. Dan dakwah (mengajak manusia) kepada Allah yang dilandasi dengan bashiroh (ilmu dan keyakinan) dan petunjuk, akan tetap langgeng dan kokoh.
Dan di antara yang bisa melemahkan dakwah salafiyah:
Berpalingnya sebagian pengikut dakwah ini dari ilmu dan pengajaran serta hafalan matan dan pembelajaran sunnah-sunnah, kepada qila wa qola (isu yang merebak). Padahal Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah melarangnya. Maka sebagian mereka mencukupkan diri dengan penisbatan kepada salafiyah, tanpa belajar dan memahami manhaj salaf dan ilmu-ilmu mereka. Dan perkaranya menjadi lebih buruk jika orang-orang awam itu menonjolkan diri dalam kancah dakwah salafi, sehingga mereka membuat kerusakan dimana mereka menghendaki kebaikan. Sedangkan ahlussunnah – dengan memuji Allah – kepemimpinan menurut mereka di dalam agama, adalah bagi ahlul ilmi (ulama) yang tulus menghendaki kebaikan dengan nasihat. Sebagaimana datang dalam sebuah hadits,
حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ ؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً ، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sehingga jika tidak lagi tersisa seorang alim, maka manusia pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”
Dan nasihatku kepada siapa saja di antara saudara kami salafiyin yang telah Allah karuniai ilmu, hendaknya dia mendermakan ilmunya di masjid-masjid, di tempat-tempat taklim dan selainnya. Hendaknya dia duduk mengajari manusia urusan agama mereka, dan membuka pandangan mereka tentang manhaj salafi.
Keempat: Semangat dalam mendakwahkan manhaj salafi. Karena seorang salafi yang tulus adalah kunci kebaikan bagi saudara-saudaranya. Mendakwahi mereka dengan ilmu, hikmah dan kejelasan dalam dakwah. Mewaspadai (dan menghindari) penyembunyian kebenaran karena memperhatikan makhluk dengan alasan hikmah! Karena sesungguhnya hal ini menyelisihi perintah Allah kepada para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalah dengan gamblang.
Kelima: Memurnikan diri untuk kebenaran dan menjauhi sikap tahazzub terhadap individu-individu (menjadikan individu tertentu sebagai patokan dalam mencintai dan memusuhi – pent). Ketika Ahlussunnah salafiyin melarang sikap ta’ashub (fanatik) kepada para imam besar yang menjadi panutan seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Malik, asy-Syafi’i dan yang lain, lalu bagaimana dengan orang-orang yang di bawah mereka?! Dan ketika Ahlussunnah dengan penghormatan dan pengagungan mereka terhadap para imam, serta pembelajaran mereka terhadap kitab-kitab para ahli fikih agama ini, mereka tetap saja melarang ta’ashub madzhabi (fanatik kepada madzhab tertentu),karena yang dijadikan sandaran adalah dalil syar’i.
Maka aku katakan: jika demikian perkaranya, maka mereka pasti melarang dari sesuatu yang dinamakan oleh al-Allamah al-Albani – semoga Allah mengampuni beliau – dengan “Ta’ashub kepada para guru”. Karena sungguh hal ini telah muncul dan tumbuh dalam tubuh dakwah salafiyah, hizbiyah yang tersamar! Engkau melihat mereka memberikan peringatan dari hizbiyah yang dibenci, sedangkan mereka sendiri terjerumus ke dalam salah satu jenis hizbiyah, baik mereka rasakan maupun tidak! Dan engkau lihat hal ini dengan jelas ketika terjadi perselisihan dan perdebatan?! Ya Allah, cukupkanlah kami dari kejelekan fitnah-fitnah, yang lahir maupun yang batin…
Dan yang menjadi kewajiban seorang salafi adalah mencari kebenaran, menjadi pengikut dalil, dengan tetap menghormati para imam dan ulama.
Keenam: Saling menyayangi sesama mereka. Dahulu, para salaf mengatakan, “Jika engkau mendengar ada seorang Ahlussunnah di belahan timur atau barat, maka kirimkanlah salam kepadanya, (karena) alangkah sedikitnya Ahlussunnah.” Dan Allah telah menyifati pendahulu kita yang shalih bahwa mereka adalah orang-orang yang berkasih sayang sesama mereka. Maka hendaknya hal ini menjadi ciri Ahlussunnah, dan menjadi akhlak mereka yang diperhatikan dalam belajar dan pengajaran kepada saudara mereka dan dalam meberikan nasihat kepada mereka serta dalam bermuamalah sesama mereka. Jika kasih sayang ini telah dicabut dari sesama Ahlussunnah, niscaya mereka akan berpecah belah, berselisih, dan para pengikut hawa nafsu akan mencuri orang yang lemah dari kalangan Ahlussunnah. Ya Allah, tetapkanlah kami, Yaa ‘Aziz ya Ghoffar!
Ketujuh: Berhati-hati dari berkata atas nama Allah tanpa ilmu, dan berhati-hati agar seseorang tidak memasuki perkara yang tidak perlu baginya. Pada hari ini – dengan memuji Allah – tidak ada satu negri pun yang kosong dari Ahlussunnah. Dan (keadaan) mereka ada beberapa golongan: di antara mereka ada yang awam, dan banyak dari para pemuda kita yang termasuk golongan ini. Di antara mereka ada para penuntut ilmu, yang mereka bertingkat-tingkat. Dan di antara mereka ada orang yang alim. Maka kewajiban seorang yang masih awam adalah mengetahui kedudukan dirinya, tidak boleh baginya ikut masuk membicarakan perkara agama yang tidak dia mampui dengan alasan untuk menolong sunnah! Karena sesungguhnya sunnah tidaklah ditolong dengan pembicaraan tentang agama Allah tanpa ilmu.
Dan kewajiban seorang salafi yang awam, tidak menonjolkan diri untuk berdebat dengan para pengikut hawa nafsu dan kebid’ahan. Sering mereka membuat kerancuan agama terhadap salafi yang awam ini dengan berbagai syubhat yang ada pada mereka. Sedangkan dia tidak memiliki ilmu yang bisa membantah kesesatan dan syubhat-syubhat mereka.
Maka kewajiban seorang salafi yang awam dan juga pemuda salafi, menghadapkan diri dengan hati yang jujur dan sungguh-sungguh untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada para ulama tentang perkara yang susah bagi mereka.
Kedelapan: Bersabar dan berbaik sangka kepada Allah. Jika para musuh telah menyatakan permusuhannya kepada kalian secara terang-terangan, maka berbaik sangkalah kepada Robb kalian dan yakinlah bahwa Allah pasti menolong dan memenangkan agama-Nya, memuliakan wali-waliNya. Lihatlah orang yang telah mendahului kalian dari kalangan Ahlussunnah, seperti Imam Mubajjal Ahmad bin Hanbal. Ketika terjadi fitnah, tinggallah beliau sendirian menyampaikan kebenaran secara terang-terangan, dan bersabar atas gangguan yang menimpa. Sampai akhirnya Allah memenangkan urusannya, memuliakan kedudukannya dan menjadikan kecintaan terhadap beliau ada pada hati-hati orang yang bertauhid.
Maka bersabarlah – semoga Allah memberkahi kalian – jangan merasa lemah dan jangan bersedih. Ketahuilah, bahwa tipu daya syaithan dan golongannya adalah lemah, sedangkan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Kesembilan: Berwaspada dari pintu-pintu masuk syaithan dan golongannya. Karena mereka senantiasa berusaha membuat kerusakan di antara Ahlussunnah salafiyin, membangkitkan fitnah di tengah-tengah mereka, mengobarkan kemarahan dalam dada-dada mereka, menabur benih permusuhan di antara mereka dengan namimah (adu domba), penyebaran kedustaan, peragu-raguan seorang salafi terhadap saudaranya, dan menyampaikan persangkaan-persangkaan dusta. Sehingga akhirnya kalimat persatuan pun menjadi tercerai berai, dan sesama saudara saling bermusuhan. Allah ta’ala berfirman,
لَوْ خَرَجُوا فِيكُم مَّا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu, sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.” (at-Taubah: 47)
Dan kewajiban seorang salafi adalah membela kehormatan orang yang beriman. Jika ada suatu kebatilan yang disandarkan kepada saudaranya yang telah dikenal dengan sunnah, maka dia wajib mengamalkan ayat yang mulia ini, yang telah Allah jadikan sebagai adab bagi kita. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا أَن نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَا سُبْحَانَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (an-Nur: 16)
Kesepuluh: Tawadhu’ dan bersikap lembut terhadap ahlussunnah salafiyin. Termasuk musibah dan bencana yang menghinakan, adanya seseorang yang terpedaya dengan amalannya. Jika muncul darinya satu bentuk pertolongan terhadap dakwah salafiyah ini, dia merasa tinggi di atas saudara-saudaranya dengan keutamaan ini. Dia melihat bahwa dialah yang paling berhak dari pada yang lainnya – meskipun yang lain lebih berilmu, lebih bertakwa dan lebih memberi manfaat dari pada dia -. Semacam ini, akan bisa merusak keutamaan tersebut. Dan Allah lebih mengetahui tentang orang yang terluka di jalan-Nya. Orang yang masih hidup memang tetap dikhawatirkan terkena fitnah. Maka kita memohon kepada Allah, keikhlasan dan kemantapan serta kekokohan di atas sunnah.
Dan kewajiban seorang salafi jika mempunyai suatu andil dalam menolong sunnah, adalah memuji Allah atas kenikmatan dan keutamaan ini. Dia memohon keikhlasan kepada Allah, memohon agar amalnya diterima, dan agar dia bisa bersikap lembut terhadap saudara-saudaranya, dengan terus menyampaikan nasihat kepada mereka, dan mengharapkan kebaikan bagi mereka.
Semoga Allah memberkahi kesungguhan, meluruskan langkah, memberi taufik kepada saudara-saudara kita kepada jalan yang lurus, menetapkan kita dan mereka di atas sunnah sampai kita menjumpai-Nya. Semoga sholawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, dan para sahabat beliau.
Ditulis oleh:
Sulthon bin Abdirrohman al-’Ied
Dengan memuji kepada Allah, bersholawat dan bersalam kepada Rasul-Nya.
Pada permulaan Jumada al-Ula tahun 1429 H
Sumber : http://www.sultanal3eed.com
07 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar