Oleh Ustadz Firanda Andirja, Lc.
(Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah)
Merupakan nikmat Allâh yang besar kepada para hamba-Nya adalah, Allâh menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah agar para hamba-Nya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba untuk meraih berkah yang sebanyak-banyaknya.
Berjumpa dengan bulan Ramadan merupakan kenikmatan yang sangat besar, yang selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat yang besar ini, baik dikarenakan ajal telah menjemput mereka atau karena ketidakmampuan mereka beribadah sebagaimana mestinya pleh sebab sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan apatis terhadap bulan yang mulia ini. Maka, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allâh atas karunia-Nya ini dan berdoa kepada-Nya agar dianugerahi kesungguhan dan semangat dalam mengisi bulan yang mulia ini dengan ibadah dan dzikir kepada-Nya.
Yang menyedihkan, banyak orang yang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini, mereka tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala yang banyak dari Allâh dengan banyak beribadah, bersedekah, dan membaca Al-Qur`ân. Namun bulan yang agung ini mereka jadikan sebagai musim yang menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman dan menyibukkan kaum ibu untuk terus berkutat dengan dapur.
Sebagian yang lain tidaklah mengetahui bulan yang suci ini melainkan sebagai bulan untuk begadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian di siang harinya terlelap oleh mimpi. Bahkan ada diantara mereka yang terlambat untuk sholat berjamaah di masjid, ataupun tatkala sholat di masjid dia berangan-angan agar sang imam segera salam.
Sebagian yang lain tidaklah mengenal bulan yang suci ini kecuali merupakan musim untuk mengeruk duit yang sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya dalam rangka memperoleh kesempatan mengeruk dunia[1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli di bulan suci ini, menekuni pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun mereka sholat di masjid, mereka sholat dalam keadaan terburu-buru. Wallâhul musta’ân…[2]
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan yang suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka, bahkan jauh-jauh sebelumnya mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu. Berkata Mu’allâ bin Al-Fadhl, ”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allâh selama enam bulan agar Allâh mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhân…”[3]
Pujilah Allâh dan bersyukurlah kepada-Nya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhân dalam keadaan tenteram dan damai. Renungkanlah… bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Chechnya, Afghanistan, Iraq, dan negeri-negeri yang lainnya… Bagaimanakah keadaan mereka menyambut bulan suci ini?? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini. Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa… lantas dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa… mereka terus menghadapi bencana busung lapar.[4]
Ramadhân adalah kesempatan emas untuk menjadi orang yang bertakwa
Allâh Ta’alâ berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS 2:183)
Berkata Syaikh ‘Utsaimîn rahimahullâhu : لَعَلَّ adalah untuk ta’lîl (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa yaitu agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allâh. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa, adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial maka hanyalah mengekor (bukan hikmah yang utama-pen)”[5]
Betapa banyak manusia di zaman ini jika dikatakan kepada mereka “Bertakwalah engkau kepada Allâh!” maka merah padamlah wajahnya dan kedua pipinya mengembang karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allâh sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allâh.
Berkata Ibnu Mas’ûd Radhiyallâhu ‘Anhu, “Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “Bertakwalah kepada Allâh”, lantas ia berkata,”Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu sok mau menasehatiku??!”
Pada suatu hari Kholifah Hârûn Ar-Rosyîd keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh dengan hiasan, lalu berkata seorang yahudi kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah engkau kepada Allâh!”. Maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allâh di atas tanah dengan penuh tawâdhû’ dan khusyû’. Lalu diapun memerintahkan agar kebutuhan orang yahudi tersebut dipenuhi. Tatkala ditanyakan kepadanya kenapa dia berbuat demikian, beliau berkata, ”Tatkala saya mendengar perkataan orang yahudi tersebut saya ingat firman Allâh
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya “Bertakwalah kepada Allâh”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berrbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS 2:206),
Maka saya khawatir saya adalah orang yang disebut Allâh tersebut.”[6]
Oleh karena itu puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allâh.
Berkata sebagian salaf, “Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum.” Berkata Jâbir, ”Jika engkau berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa…dan janganlah engkau menjadikan keadaanmu tatkala berpuasa seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa”.[7]
Berkata Abûl ‘Aliah,”Orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya selama tidak melakukan ghibah (menggunjing) kepada orang lain”[8]
Berkata Syaikh As-Sudais,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allâh)?, ataukah masih banyak diantara mereka yang tidak tahu hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang lahiriyah??”[9]
Beliau juga berkata, “Sebagian orang tidak mengetahui hakekat puasa, mereka hanya membatasi makna puasa yaitu menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya sehingga terjerumus dalam ghîbah, namîmah, dan dusta. Demikian juga mereka membiarkan telinga dan mata mereka jelalatan sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhori telah meriwayatkan sebuah hadits dalam shahih beliau bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya[10] serta berbuat kebodohan[11] maka Allâh tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya”[12]”[13]
Berkata Ibnu Rajab, ”Barangsiapa yang di bulan Ramdhan ini tidak beruntung maka kapan lagi dia bisa beruntung, barangsiapa yang di bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allâh maka sungguh dia sangat merugi”[14]
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan diantara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
Puasa merupakan kesempatan untuk membiasakan diri mentadabburi Al-Qur`ân
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al-Qur`ân, meninggalkan membaca Al-Qur`ân atau tatkala membacanya dibaca tanpa ditadabburi kandungan maknanya, hingga jadilah Al-Quran pada sebagian orang sesuatu yang terlupakan[15]. Berkata Ibnu Rajab, “Allâh mencela orang-orang yang membaca Al-Qur`ân tanpa memahami (mentadaburi) maknanya, Allâh berfirman
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ
“Dan diantara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al-Kitâb (At-Taurat), kecuali hanya dongengan belaka” (QS: 2:78),
yaitu membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al-Qur`ân adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan bukan hanya sekedar untuk dibaca”[16]
Tatkala tiba bulan Ramadan, Az-Zuhrî berkata,”Ramadhân itu adalah membaca Al-Qur`ân dan memberi makan (fakir miskin)”
Berkata Ibnu ‘Abdil Hakîm, “Jika tiba bulan Ramadhân, Imam Mâlik menghindar dari membacakan hadits dan bertukarpikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca mushaf Al-Qur`ân”.
Berkata ‘Abdur Razzâq, “Jika masuk bulan Ramadhân, Ats-Tsaurî meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al-Qur`ân”
Berkata Ibnu Rajab, “Para salaf berkonsentrasi membaca Al-Qur`ân di bulan Ramadhân. Diantara mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur`ân setiap minggu, diantara mereka ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam, bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir menamatkan Al-Qur`ân setiap malam. Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al-Qur`ân kurang dari tiga hari maka maksudnya jika dilaksanakan terus menerus. Adapun menamatkan Al-Quran pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia seperti bulan Ramadhân khususnya di malam-malam yang diharapkan seperti lailatul qodar, demikian juga di tempat-tempat yang mulia, maka disunnahkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur`ân dalam rangka memanfaatkan kesempatan ketika berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka”[17]
Diantara adab-adab tatkala membaca Al-Qur`ân[18]:
1. Hendaknya membaca dengan tartil dangan memperhatikan hukum-hukum tajwîd disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibacanya berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya maka hendaknya dia beristighfâr. Jika dia melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allâh maka hendaknya dia meminta kepada Allâh rahmat tersebut, dan jika melewati ayat-ayat tentang adzab maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allâh dari adzab tersebut. Adapun jika membaca Al-Qur`ân dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwîd maka sulit untuk mentadabburi Al-Qur`ân. Bahkan membaca Al-Qur`ân dengan cepat tanpa aturan terkadang bisa menjadi haram hukumnya jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (yaitu tidak keluar sesuai dengan makhrojnya) karena ini termasuk bentuk perubahan terhadap Al-Qur`ân. Adapun jika membaca dengan cepat namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwîd maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al-Qur`ân (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al-Qur`ân walaupun dibaca dengan cepat).
2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al-Qur`ân hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk disampingnya. Sebagian orang jika sedang membaca Al-Qur`ân kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut, dan hal ini merupakan hal yang semestinya tidak dilakukan karena ini termasuk berpaling dari Al-Qur`ân tanpa adanya kebutuhan.
3. Tidak membaca Al-Quran dengan suara yang keras sehingga mengganggu orang yang disekitarnya yang sedang membaca Al-Qur`ân juga, atau sedang sholat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang hal ini. Dari Abû Sa’îd Al-Khudrî, beliau berkata, “Nabi i’tikâf di masjid lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al-Qur`ân dengan suara yang keras dan Nabi sedang berada dalam tenda i’tikâf-nya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata, “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Robbnya maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al-Qur`ân” atau beliau berkata,”tatkala (membaca Al-Qur`ân) dalam sholat.”[19]
Ramadhân adalah kesempatan untuk instropeksi diri
‘Umar Al-Farûq berkata,
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang!, dan berhiaslah (beramal solehlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba!”[20]
Allâh berfirman
يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allâh)” (QS 69:18).
Benarlah apa yang diucapkan oleh Al-Farûq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini jauh lebih ringan daripada hisab Allâh di hari dimana rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allâh dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya
لاَ يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَلاَ كَبِيْرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلاَ يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan (di dunia) nampak tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua” (QS 18:49).
Al-Hasan berkata, “Seorang mukmin adalah pengendali dirinya, (hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allâh. Yang menyebabkan suatu kaum hisab mereka ringan di akhirat kelak adalah karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan hanyalah yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum di hari kiamat kelak adalah karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhâsabah (di dunia)”[21]
Hakekat dari muhâsabah adalah menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan, sehingga dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak[22]
Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Namun perhitungan ini (muhâsabah) akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan pembedaan antara nikmat dan fitnah (istidrâj).
(Pertama), cahaya hikmah yaitu ilmu yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudhorot, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian ia bisa mengetahui tingkatan amalan mana yang ringan dan mana yang berat, mana yang diterima dan mana yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang maka dia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhâsabah).
(Kedua), adapun berprasangka buruk kepada diri sangat dibutuhkan (dalam muhâsabah), karena berbaik sangka kepada jiwa mencegah sempurnanya pemeriksaan jiwa, maka jadinya dia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan dan memandang aibnya adalah suatu kesempurnaan dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
(ketiga), adapun membedakan antara nikmat dan fitnah yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allâh anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih sayang-Nya yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan yang abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidrâj dari Allâh. Betapa banyak orang yang ter-istidrâj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allâh-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya yang kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allâh. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (yaitu, pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka….”
Beliau melanjutkan,”…. Semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allâh dan apa yang diridhoi Allâh maka hal itu adalah karunia Allâh, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana. Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allâh dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allâh, jika tidak , maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allâh bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allâh. Jika tidak demikian, maka dia hanyalah bumerang baginya….dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagungan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allâh, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allâh. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati poin yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah yang berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”[23]
Ketahuilah bahwa termasuk penyempurna muhâsabah yaitu engkau mengetahui bahwa setiap kemaksiatan atau aib yang karenanya engkau mencela saudaramu maka akan kembali kepadamu. Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya) maka dia tidak akan mati hingga dia melaksanakan kemaksiatan tersebut”[24]
Berkata Imam Ahmad menafsirkan hadits ini, “Yaitu (mencelanya karena) dosa/maksiat yang ia telah bertaubat darinya.[25]
Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan juga pada suatu pencelaan tersirat rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At-Tirmidzî meriwayatkan juga –secara marfû’- bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda,”Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu sehingga Allâh merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu”[26]. Dan mungkin juga maksud Nabi bahwa dosa pencelaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu adalah oleh sebab pencelaanmu itu menunjukan tazkiyatun nafsi (memuji diri sendiri) dan mengklaim bahwa engkau selalu diatas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa dan bahwa saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa jadi penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengklaiman sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia dihadapan Allâh dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, yang lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengklaimanmu bahwa engkau selalu diatas ketaatan kepada Allâh dan engkau menganggap bahwa engkau banyak melakukan ketaatan kepada Allâh bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allâh dan kepada makhluk-makhluk-Nya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh dekat saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- kepada rahmat Allâh. Dan betapa jauh orang yang ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya dengan kemurkaan Allâh.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina dihadapan Allâh lebih disukai Allâh daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur di malam hari (tidak melaksanakan sholat malam) kemudian di pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau sholat malam kemudian di pagi hari engkau merasa ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ujub amalnya tidak sampai kepada Allâh. Engkau tertawa namun engkau mengakui (kesalahanmu dan kekuranganmu) lebih baik dari pada engkau menangis namun engkau merasa ujub. Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allâh dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ujub. Bisa jadi dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu Allâh berikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh darinya padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allâh memiliki rahasia dan hikmah yang terdapat pada hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indera manusia. Namun di balik itu ada rahasia Allâh yang tidak diketahui bahkan oleh para malaikat para pencatat amal.
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ
“Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah dia mencelanya”[27]…, karena sesungguhnya penilaian adalah di sisi Allâh dan hukum adalah milik-Nya. Dan tujuannya adalah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut bukan mencelanya….
Allâh telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam), “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)” (QS 17:74). Nabi Yûsuf telah berkata,”Dan jika Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh” (QS 12:33). Dan Nabi paling sering bersumpah dengan berkata
ياَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ
“Demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia”[28].
Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusiapun melainkan ia berada diantara dua jari dari jari jemari Allâh. Jika Allâh kehendaki Allâh akan memberi petunjuk kepadanya dan jika Allâh kehendaki maka Allâh akan menyesatkannya”[29], kemudian beliau berdoa
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu”[30]
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu”[31].
Berdoa kepada Allâh agar ibadah puasa kita diterima
Berkata Ibnu Rojab, “Para salaf, mereka berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka, kemudian setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima, mereka takut amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah “Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dan hati mereka dalam keadaan takut” (QS 23:60). Diriwayatkan dari ‘Alî beliau berkata,”Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal) dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal), apakah kalian tidak mendengar firman Allâh “Sesungguhnya Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27).
Dari Fadhâlah dia berkata,”Saya mengetahui bahwa Allâh menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai daripada dunia dan seisinya karena Allâh berfirman “Sesungguhnya Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27)”.
Berkata Abûd Darda’, “Saya mengetahui bahwa Allâh telah menerima dariku satu sholat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya karena Allâh berfirman “Sesungguhnya Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27)”.[32]”
Berkata Mâlik bin Dinar, “Rasa takut jika amalan tidak diterima itu lebih berat daripada beramal itu sendiri”.
Berkata ‘Athâ’ As-Sulamî, “Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allâh”
Abdul ‘Azîz bin Abî Ruwwâd berkata, “Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal soleh, namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allâh dengan Ramadhân mereka juga berdoa setelah Ramadhân selama enam bulan agar amalan mereka diterima.[33]
Wuhaib bin Al-Ward tatkala membaca firman Allâh
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan tatkala Ibrâhîm meninggikan (membina) pondasi Baitullâh bersama Ismâ’îl (seraya berdoa), ”Wahai Tuhan kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu” (QS 2:127), maka beliau (Wuhaib bin Al-Ward) pun menangis seraya berkata, “Wahai kekasih Ar-Rahmân, engkau meninggikan rumah Ar- Rahmân lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar- Rahmân [34]
Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Puas (ridho)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan merupakan indikasi bahwasanya dia tidak tahu akan keadaan dirinya. Dia tidak tahu hak-hak Allâh dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allâh. Ketidaktahuannya akan kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya serta ketidaktahuannya akan kebesaran Allâh dan hak-hak-Nya menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan sehingga akhirnya dia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan serta menimbulkan rasa sombong dan penyakit-penyakit hati yang lainnya yang lebih berbahaya daripada dosa-dosa besar yang nampak seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian rasa puas terhadap amal ketaatan merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.
Jika kita perhatikan…ternyata mereka orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allâh justru tatkala mereka telah selesai dari amal ketaatan mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengakui kekurangan mereka tatkala beramal dan mereka mengakui bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allâh. Seandainya bukan karena perintah Allâh untuk beramal maka mereka akan malu menghadap Allâh dengan model ibadah mereka yang penuh kekurangan dan mereka tidak ridho ibadah yang penuh kekurangan tersebut mereka serahkan kepada Allâh. Namun mereka tetap beribadah walalupun penuh kekurangan untuk menjalankan perintah Allâh.
Allâh telah memerintahkan para jema’ah haji (pengunjung rumah Allâh) untuk beristighfâr setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia yaitu wukuf di Arafah. Allâh berfirman
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا الله عِنْدَ الْمَشْعِرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوْهُ كَمَ هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُم مِنْ قَبْلِهِ لََمِنَ الضَّآلِّيْنَ ثُمَّ أَفِيْضُوا مِنْ حِيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌَ َ
“Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berzikirlah kepada Allâh di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allâh sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat beranjak orang-orang banyak (yaitu Arafah) dan mohon ampunlah kepada Allâh sesungguhnya Allâh Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang” (QS 2:198-199)
Allâh juga berfirman
وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ
“Dan yang memohon ampun di waktu sahur” (QS 3:17).
Berkata Hasan Al-Bashrî, “Mereka memanjangkan sholat malam mereka hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar) lalu mereka duduk dan beristighfâr kepada Allâh”. Dan dalam hadits yang shahih bahwasanya Nabi jika telah salam dari sholat beliau ber istighfâr tiga kali[35].
Allâh memerintah Nabi untuk ber istighfâr setelah selasai menyampaikan risalah kenabiannya –dan beliau telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat beliau. Maka Allâh berfirman di surat yang terakhir turun kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam “Apabila telah datang pertolongan Allâh dan kemenangan. Dan Engkau melihat manusia masuk agama Allâh dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Robmu dan mohon ampun kepada-Nya . Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat.” (QS 110:1-3)
Dari turunnya surat ini, maka ‘Umar dan Ibnu Abbâs faham bahwa ini merupakan tanda dekatnya ajal Rasûlullâh yang Allâh beritahukan kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Maka Allâhpun memerintahkan beliau untuk beristighfâr setelah beliau menunaikan tugas beliau. Maka hal ini seakan-akan pemberitahuan bahwa engkau (wahai Rasûlullâh) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfâr. Sebagaimana juga penutup sholat, haji, sholat malam. Dan juga setelah wudhû’ beliau berkata,
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ [36].
Dan demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allâh dan sesuai dengan keagunganNya dan mengerti akan hak-hak ibadah dan persyaratannya.
Berkata sebagian orang bijak, “Kapan saja engkau ridho (puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allâh, ketahuilah sesungguhnya Allâh tidak ridho dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwasanya dirinya merupakan tempat kesalahan, aib, dan kejelekan serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana dia bisa puas dengan amalannya? Bagaimana dia bisa ridho amalan tersebut bagi Allâh?
Sungguh indah perkataan Syaikh Abû Madin, “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’, dia memandang keadaannya dengan kacamata pengklaiman (pengakuan belaka), dan memandang perkataannya dengan kacamata kedustaan. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu maka akan semakin ciut (kecil) jiwamu di hadapanmu, dan semakin ciut pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakekat Rubûbiyah Allâh dan hakekat ‘Ubûdiyah serta engkau mengenal Allâh dan engkau mengenal dirimu sendiri maka akan jelas bagimu bahwa apa yang ada padamu berupa amal ketaatan tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allâh. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia maka engkau akan tetap takut dihukum Allâh (karena engkau takut tidak diterima-pen). Sesungguhnya Allâh menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karunia-Nya kepadamu. Kemudian Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu juga karena kemuliaan, kemurahan, dan karunia-Nya.” [37]
Berkata Syaikh Abdur Rahmân As-Sudais, “Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian pastiakan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu –wahai hamba Allâh- apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya?? Demi Allâh kita tidak tahu, sedangkan kita tiap hari menyolatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhâsabah dan meluruskan kepincangan dan membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba. Sehingga tidak bermanfaat ketika itu kecuali amalan shâlih. Ikrarkanlah janji kepada Robb kalian di tempat yang suci ini dan di bulan yang suci ini yang penuh barokah ini untuk bertaubat dan penyesalan serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian kaum muslimin.”[38]
Kota Nabi,
3 Ramadhân 1425 H (16 Okt. 2004)
Daftar Pustaka:
1. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qoyyim, Tahqîq ‘Abdul ‘Aziz bin Nâshir Al-Julaiyil, Dâr At-Thayibah
2. Wazhâ`if Ramadhân, Syaikh Abdur Rahmân bin Muhammad bin Qâsim.
3. Ahâdîtsu ash-Shiyâm, Ahkâmuhu wa Âdabuhu, Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân.
4. Tafsîr Al-Qur`ân Al-Karîm, Syaikh ‘Utsaimîn, Dâr Ibnul Jauzî.
5. Ramadhân Fursoh lit Tagyîr, Muhammad bin ‘Abdillâh Al-Habda.
6. Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah min Mimbar Al-Ka’bah As-Syarîfah, Syaikh ‘Abdur Rahman bin ‘Abdul ‘Azîz As-Sudais.
7. Fathul Bârî, Ibnu Hajar Al-‘Asqolânî, Dâr as-Salâm, Riyâdh.
8. Tuhfatul Ahwadzî, Al-Mubârokfûrî, Dâr Ihyâ` At-Turâts Al-‘Arobî.
9. Tafsîr Ibnu Katsîr.
[1] Yang menyedihkan ada diantara mereka yang mengatasnamakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga yang berdalih bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku…carilah amalan yang terbaik yang bisa mendatangkan pahala yang sebanyak mungkin di bulan suci ini. Umur kita terbatas. Renungkanlah….
[2] Saduran dari perkataan Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân dalam kitabnya Ahâdîts ash-Shiyâm, hal 14-15
[3] Wazhâ`if Romadhân hal 11. Adakah diantara kita yang senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin masih banyak diantara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain karena kita kurang mengagungkan nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau mungkin bahkan diantara kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan Ramadhan….??
[4] Lihat Khutbah Syaikh As-Sudais (Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah hal 230-231)
[5] Tafsîr Al-Qur`ân Al-Karîm, tafsir surat Al-Baqoroh 2/317
[6] Lihat Risalah Ramadhân Fursoh lit Taghyîr hal 13-14
[7] Wazhâ`if Romadhân hal 21
[8] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzâq dalam Mushonnaf-nya. Berkata Ibnu Rojab,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuhnya guna melaksanakan sholat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala (oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah oleh Allah-pen). Demikian juga jika dia meniatkan dengan tidurnya di malam hari ataupun di siang hari agar kuat untuk beramal (sholih) maka tidurnya itu adalah ibadah” (Wazhâ`if Romadhân hal 24).
[9] Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah 1/ 237
[10] Yaitu mengamalkan konsekuensi dari kedustaan tersebut (Al-Fath 4/151)
[11] Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân menjelaskan,”Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya” (Âhadîtsu ash-Shiyâm hal 74)
[12] HR Al-Bukhâri no 1903, 6057. Berkata Ibnu At-Thîn, “Zhahir hadits menunjukkan bahwa barangsiapa yang berbuat ghibah tatkala sedang puasa maka puasanya batal, demikianlah pendapat sebagian salaf. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal), namun menurut mereka makna dari hadits ini bahwasanya ghibah termasuk dosa besar dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya”. (Al-Fath 10/582)
[13] Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah 1/ 229
[14] Wazhâ`if Romadhân hal 12
[15] Ibnu Katsîr menjelaskan bahwa diantara bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al-Qur`ân adalah meninggalkan praktek pengamalan perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Qur`ân, tidak menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalam Al-Qur`ân, berpaling dari (kebiasaaan membaca) Al-Qur`ân dan menggantikannya dengan kebiasaan membaca syair-syair atau perkataan-perkataan atau lagu atau perkara yang sia-sia yang tidak berlandaskan Al-Qur`ân. (Tafsir Ibnu Katsir, pada surat Al-Furqôn ayat 30)
[16] Wazhâ`if Romadhân hal 42. Berkata sebagian salaf, “Al-Qur`ân diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan), namun manusia menjadikan membaca Al-Qur`ân itulah bentuk pengamalannya”
[17] Wazhâ`if Romadhân hal 43
[18] Disadur dari perkataan Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân dalam kitabnya Âhadîtsu ash-Shiyâm (hal 46-48)
[19] HR Ahmad (3/93) dan Abû Dâwûd dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dalam As-Shohîhah 4/134 dan berkata,’Isnadnya shohih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhârî dan Muslim”
[20] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzî dalam Shifatul Qiyâmah, bab “Al-Kais Lak Dâna Nafsahu…”, kemudian setelah menyebutkan hadits “Al-Kaisu….dst” Beliau berkata, “Dan diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab beliau berkata: “Hisablah….” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab az-Zuhud, demikian juga Ibnul Qoyyim dalam Madârijus Sâlikîn (1/319)
[21] Hilyatul Auliyâ’ 2/157
[22] Madârijus Sâlikîn 1/321
[23] Madârijus Sâlikîn 1/ 321-324
[24] HR At-Tirmidzî no 2505. Berkata At-Tirmidzî, “Ini adalah hadits hasan ghorîb”. Berkata Al-Mubârokfûri, “Hadits ini munqothi’, walau demikian At-Tirmidzî menghasankannya, kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syâhid (penguat lain) bagi hadits ini sehingga inqithâ’ (keterputusan sanadnya) tidak mempengaruhi” (Tuhfatul Ahwadzî 7/251). Namun Syaikh Al-Albânî menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits maudhû’ (palsu) dalam Dho’îf Sunan At-Tirmidzî no 449 dan dalam Dha’îful Jamî’ no 5710.
[25] Sebagaimana tafsiran ini dibawakan oleh At-Tirmidzî setelah meriwayatkan hadits ini
[26] HR At-Tirmidzî no 2506, dan berkata,”Ini adalah hadits hasan ghorîb” dan didhoifkan oleh Syaikh Al-Albânî dalan Dho’îf Sunan At-Tirmidzî no 450
[27] HR Al-Bukhârî 2152
[28] HR Al-Bukhârî 6617, 6628
[29] HR Ibnu Mâjah no 99, Ahmad 4/182, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah.
[30] Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dalam Shahîh Sunan At-Tirmidzî 1739
[31] HR Muslim no 2654
[32] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr surat Al-Mâ`idah ayat 27
[33] Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rojab dalam Wazhâ`if Ramadhân hal 73, kecuali atsar Abûd Darda’
[34] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr surat Al-Baqoroh ayat 127
[35] HR Muslim 591 dan Abû Dâwûd 1512
[36] Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan oleh An-Nasâ`î di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah hal 173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dan Shahîhul Jâmi’ no 2059. Adapun hadits yang kedua diriwayatkan oleh At-Tirmidzî no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî.
[37] Madârijus Sâlikîn 1/327-330
[38] Dari kumpulan khutbah jum’at beliau. (Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah 1/ 235)
Sumber: http://artikel.stai-ali.ac.id/?p=18 dan diupload kembali oleh http://salafiyunpad.wordpress.com
07 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar